Khotbah - Renungan Harian Kristen; Matius 5:13-16 "Jatidiri Kristiani Seperti Tercermin Dalam Peranannya: Garam Dan Terang" Oleh John Stott
Judul Renungan: Jatidiri Kristiani Seperti Tercermin
Dalam Peranannya: Garam Dan Terang
Bacaan Alkitab;
"Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga."(TB).
Kalian adalah garam dunia. Jika kalian menjadi tawar, apa jadinya dengan dunia ini? Kalian sendiri akan dibuang dan diinjak orang karena tidak berguna. Kalian adalah terang dunia, yang tampak kepada semua orang seperti sebuah kota di atas bukit bercahaya pada malam hari. Janganlah terang itu kalian sembunyikan, melainkan biarkanlah terang itu bercahaya bagi semua orang. Biarlah semua orang melihat kalian berbuat baik, sehingga mereka akan memuji Bapa kalian yang di surge (FAYH). Matius 5:13-16
Jika maklumat Bahagia itu melukiskan jati diri murid-murid Yesus dalam
ciri-ciri watak mereka yang hakiki, maka lukisan itu dilanjutkan lagi melalui
metafora garam dan terang yang menjelaskan peranan apa yang harus mereka
perankan dalam dunia bagi kebaikannya.
Ini tentu sangat mengherankan bagi kita. Sebab bagaimana mungkin orang
kristen bisa memainkan peranan penting dalam dunia? Peranan apakah gerangan
yang dapat dimainkan orang-orang seperti dilukiskan dalam maklumat Bahagia itu,
justru di dalam dunia yang keras dan tidak kenal ampun ini? Hal-hal luhur
apakah yang dapat dilakukan oleh orang miskin dan lemah lembut, orang yang
berdukacita dan murah hatinya dan mereka yang wajib berusaha untuk membawa
damai dan bukan perang?
Bukankah mereka akan segera tersingkir oleh arus pasang kejahatan?
Apakah yang dapat dicapai oleh orang yang hanya dikuasai oleh kerinduan akan
kebenaran dan yang hanya memiliki hati yang suci selaku senjata mereka
satu-satunya? Bukankah orang seperti itu terlalu lemah dan tidak berdaya untuk
mencapai suatu apapun, apalagi bila mereka hanyalah minoritas di dalam dunia
ini?
Jelas, Yesus tidak sependapat dengan skeptisisme ini. Pendapat-Nya
bahkan sebaliknya. Suatu hal yang pasti ialah bahwa dunia akan menganiaya
gereja (ay 10-12); namun demikian adalah panggilan gereja untuk memberitakan
pelayanan kepada dunia yang menganiayanya (ay 13-16). Tindakan pembalasan kita
satu-satunya, demikianlah Rudolf Stier, ialah “melayangkan kasih dan kebenaran
ganti kebencian dan kebohongan.
Memang tidak masuk akal kedengarannya, tetapi Yesus menunjukkan kepada
segelincir pengikut-Nya di Palestina sebagai garam dan terang dunia. Demikianlah
pengaruh luas mereka dan demikianlah menentukan peranan yang harus mereka
mainkan.
Dan yang mencolok pula ialah, bahwa dari keempat injil, justru dalam
injil Matius yakni injil yang paling tertuju kepada orang Yahudi, terdapat
rujukan kepada dunia secara keseluruhan sebagai ruang lingkup pengaruh
pengikut-pengikut Kristus bagi kebaikan seantero dunia dan ajang dimana mereka
akan memainkan peranan yang mahapenting.
Untuk bisa merumuskan sifat dan peranan itu secara singkat namun tepat,
Yesus memilih dua metafora yang dipetik-Nya dari kehidupan sehari-hari di
segala zaman. Setiap rumah tangga betapapun miskinnya pasti memerlukan garam
dan terang, dua komoditi rumah tangga yang mutlak harus ada.
Beberapa juru tafsir mengutip ucapan Pliny, bahwa “tak ada yang lebih
berguna daripada garam dan terang matahari” (bahasa Latin, sale et sole). Jelas
bahwa terang dibutuhkan oleh semua orang. Garam di lain pihak, memiliki
kegunaan yang bermacam-macam – sebagai bumbu maupun sebagai pengawet makanan.
Sejak dahulu kala manusia mengenal garam sebagai komponen hakiki dari makanan
manusia dan juga berfungsi sebagai bahan penyedap.
Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa garam? (Ayub 6:6). Tetapi dalam
abad-abad sebelum orang menemukan lemari es, garam khususnya dipakai untuk
mengawetkan daging dan mencegah kebusukan. Dan memang, sampai sekarang peranan
garam masih tetap sama.
Ingat saja daging, ikan bisa disimpan entah berapa lama jika sudah
diolah menjadi ikan asin. Kebenaran asasi yang terletak di balik kedua metafora
ini ialah adanya pembedaan yang tajam antara masyarakat gereja dan masyarakat
dunia. Di satu pihak ada “dunia” dan di pihak yang lain ada “anda” sebagai
garam dunia. Di satu pihak ada “dunia” dan di pihak yang lain ada “anda”
sebagai terang dunia.
Memang, keduan masyarakat itu (mereka dan anda) terkait satu dengan yang
lain, tapi keterkaitan itu bergantung pada pembedaan antara keduanya. Ini harus
kita simak dengan sungguh-sungguh, lebih mencairkan pembedaan antara gereja dan
dunia dan lalu berbicara tentang keseluruhan umat manusia selaku “umat Allah”
karena takut kalau-kalau dianggap deskriminatif.
Metafora-metafora ini selanjutnya menyingkapkan sesuatu kepada kita
tentang kedua masyarakat itu. Dunia agaknya merupakan tempat yang gelap, yang
hanya sedikit saja atau sama sekali tidak mengeluarkan sinar cerah, sehingga
membutuhkan satu sumber terang yang eksternal (dari luar dirinya) untuk
meneranginya.
Memang dunia sesumbar tentang “zaman pencerahan” atau “masa depan dunia
yang cerah-ceria” namun, apa yang disombongkan sebagai kecerahan adalah pada
kenyataanya kegelapan juga. Disamping itu dunia selalu menunjukkan
kecenderungannya untuk merosot. Maksudnya bukan bahwa dunia ini semakin hambar
rasanya, melainkan semakin basi.
Dan ia sendiri agaknya tidak berdaya menghentikan proses pembusukan ini.
Hanya garam yang datangnya dari luarlah yang dapat melakukan ini. Gereja di
lain pihak, ditempatkan di dunia ini dengan peranan ganda, sebagai garam untuk
menghentikan – atau setidak-tidaknya mencegah – proses kemerosotan sosial dan
sebagai terang untuk mengenyahkan kegelapan.
Jika kedua metafora ini kita tinjau lebih teliti, nampaknya bahwa
pengkalimatannya sengaja disusun demikian, sehingga sejajar satu sama dengan
yang lain. Yesus mulai dengan penegasan (kamu adalah garam dunia, kamu adalah
terang dunia). Kemudian Ia lanjutkan dengan satu pasal tambahan, yang merupakan
syarat bagi berlakunya penegasan itu (garam itu untuk mempertahankan
keasinannya; terang itu harus leluasa menyebarkan cahayanya).
Garam itu akan menjadi tidak berguna, jika ia kehilangan keasinannya;
terang itu akan menjadi tidak berguna, jika ia disembunyikan.
Garam Dunia (Ay 13)
Penegasan ini tanpa tedeng aling-aling “kamu adalah garam dunia”. Ini
berarti bahwa jika setiap masyarakat hidup sebagaimana adanya dan seturut
kemauannya, maka dunia akan membusuk (sama seperti ikan atau daging akan
membusuk kalau dibiarkan begitu saja), padahal gereja seharusnya melindunginya
dari pembusukan itu.
Allah tentu telah menaruh pelindung-pelindung lain dalam masyarakat.
Dalam anugerah-Nya, Ia telah menetapkan Lembaga-lembaga tertentu yang dapat
mengekang kecenderungan-kecenderungan egoistis manusia dan mencegah kemerosotan
masyarakat ke dalam anarki.
Yang paling utama di dalam Lembaga-lembaga itu ialah negara (dengan
otoritas untuk menyusun dan memberlakukan undang-undang) dan rumah tangga
(termasuk pernikahan dan kehidupan kekeluargaan). Pengaruhnya yang sehat memang
sangatlah terasa di dalam masyarakat. Namun, demikian pelindung yang dimaksud oleh
Allah sebagai pelindung yang paling dapat diandalkan ialah umat-Nya sendiri
yang telah diselamatkan, diperbaharui dan dibenarkan.
Seperti dikatakan oleh RVG Tasker, pengikut Kristus harus “menjadi obat
penangkal infeksi dalam suatu dunia, dimana tolak ukurnya rendah, selalu
berubah-ubah atau sama sekali alpa.”
Tapi kemanjuran garam itu mempunyai syarat, ia harus memelihara dan
mempertahankan keasinannya. Menurut ilmu kimia, sodium klorida adalah suatu
senyawa kimia yang stabil dan yang kebal hampir terhadap semua serangan. Namun
demikian, jika tercemar karena tercampur dengan kotoran, maka ia akan
kehilangan kegunaannya, malahan berbahaya bahkan tidak ada gunanya sebagai
pupuk sekalipun.
Dr. David Turk bahwa apa yang lazim dikenal pada zaman Yesus sebagai
“garam” sebenarnya terdiri dari semacam tepung putih (mungkin diambil dari
sekitar daerah laut mati), yang selain mengandung zodium khlorida, juga banyak
mengandung zat lain, sebab pada zaman itu orang belum mengenal kilang-kilang
seperti pada zaman sekarang.
Dari debu putih itu zat zodium khloridalah barangkali komponen yang
paling mudah melarut. Tapi sisa debu itu, kendati nampak seperti garam dan
mungkin juga tetap masih disebut garam, baik rasa maupun pengaruhnya bukan
seperti garam lagi. Ia sudah tidak ada ubahnya dengan debu di jalan.
Demikian juga halnya orang kristen “hendaklah kamu selalu mempunyai
garam di dalam dirimu” kata Yesus pada kesempatan lain (Mar 5:50). Keasinan
kristiani adalah jatidiri orang kristen seperti dipatokkan dalam maklumat
Bahagia Yesus, kemuridan kristiani yang penuh dedikasi kepada Yesus, yang
menjadi panutan bagi orang lain baik dalam perbuatan maupun dalam ucapan (Luk
24:34-35; Kol 4:6).
Demi kemanjurannya maka orang kristen harus memelihara keserupaannya
dengan Kristus, sama seperti garam itu harus mempertahankan keasinannya. Jika
orang kristen menjadi serupa dengan orang nonkristen dan tercemar oleh
kotoran-kotoran dunia, maka mereka akan kehilangan peranannya.
Peranan dan pengaruh orang kristen di dalam masyakarat tergantung pada
ketidakserupaannya dengan masyarakat. Orang kristen tidak indentik dengan
masyarakat. Dr. Lloyd Jones menekankan sebagai berikut, “kemuliaan injil ialah,
bila gereja lain secara mutlak dari dunia, dunia mau tidak mau akan tertarik
pada injil. Baru pada saat itulah dunia rela dengar-dengaran kepada amanat-Nya,
meskipun sebelumnya ia membencinya.”
Tapi, jika di pihak lain orang kristen tidak dapat lagi dibedakan dari
orang non-kristen, kitapun menjadi tidak berguna. Ibarat garam yang sudah
kehilangan keasinannya, maka tidak lagi menjadi soal entah pun kita “dibuang ke
jalan dan diinjak-injak.” Dari pengamat masyarakat menjadi sampah jalanan,
suatu penurunan harkat yang tidak ada taranya. Tapi, itulah garam yang sudah
kehilangan keasinannya.
Terang Dunia (Ay 14-16)
Yesus memulai metafora kedua dengan penegasan yang sama “kamu adalah
terang dunia.” Memang dikemudian hari Ia katakan “Akulah terang dunia” (Mat
5:14-16), tapi justru itu mengutarakan betapa kita selaku pengikut-Nya adalah
terang yang bermuasal dari terang Kristus, yang bersinar dalam dunia seperti
bintang-bintang di langit malam.
Dan alangkah indahnya, jika orang suatu saat terpesona oleh terang kita
yang menakjubkan, lalu mendatangi kita untuk mencari tahu tentang rahasia dan
sumber dari terang kita itu. Apa terang itu dijelaskan Yesus sebagai
“perbuatan-perbuatan baik” kita.
Kata-Nya, biarlah orang melihat perbuatanmu yang baik, dan mereka akan
memuliakan Bapak-mu di surga, sebab melalui perbuatan-perbuatan yang baik yang
demikian kita menjadi terang dunia. Yang dimaksud Yesus dengan “perbuatan baik”
ialah segala sesuatu yang dikatakan dan dilakukan oleh orang kristen karena ia
kristen. Artinya, setiap manifestasi nyata dari iman kristiani yang memancar
keluar yang dapat dilihat dan didengar.
Dan karena terang merupakan lambang kebenaran dalam alkitab, maka
manifestasi nyata iman kristiani yang memancar keluar mencakup juga kesaksian
yang diucapkan. Dengan demikian, maka nubuat Perjanjian Lama, bahwa hamba Allah
akan “menjadi terang untuk bangsa-bangsa” telah terpenuhi bukan saja dalam
Kristus sendiri, terang dunia itu, tapi juga orang kristen yang memberikan
kesaksian tentang Kristus (Yes 42:6; 49:6; Luk 2:32; Kis 26:23; 13:47).
Pekabaran injil adalah juga merupakan “perbuatan baik” melalui mana kita
bersinar sebagai terang dunia dan Bapak kita dimuliakan di surga. Tepat sekali
jika Luther menitikberatkan ini, namun kurang tepat jika ia mengatakan bahwa
inilah satu-satunya yang dimaksud Yesus dengan “perbuatan baik.”
Sehubungan dengan perbuatan baik ini, menurut Luther “Matius sekali-kali
bukannya terpikir kepada perbuatan-perbuatan biasa, sebagaimana lazimnya
dilakukan orang satu sama lain dalam kasih timbal balik…… tapi ia terutama
terpikir kepada perbuatan baik kristiani tertentu, yaitu mengajarkan ajaran
yang benar, meneguhkan iman, dan menunjukkan bagaimana cara memperkokoh dan
memeliharanya; demikianlah caranya kita membuktikan bahwa kita benar-benar
kristen.
Dalam tafsirannya itu, Luther selanjutnya mengadakan pembedaan antara
bagian pertama dan kedua dari kesepuluh perintah yang menggariskan kewajiban kita
terhadap Allah dan sesama manusia. Katanya, “perbuatan baik yang kita bicarakan
sekarang adalah bertalian dengan ketiga perintah pertama yang besar itu dan berkenaan
dengan kemuliaan Allah, nama serta firman-Nya.
Memang baik sekali apabila kita diingatkan bahwa kepercayaan, pengakuan
dan ajaran tentang kebenaran adalah termasuk “perbuatan baik” yang membuktikan
bahwa Roh Suci benar-benar telah bekerja di dalam diri kita (Yoh 6:28-29; 1 Kor
12:3; 1 Yoh 3:23-24;5:1).
Namun kita tidak boleh membatasinya hanya kepada ini saja. “perbuatan
baik” mencakup baik perbuatan kasih maupun perbuatan iman. Yang diungkapkan
bukan hanya loyalitas kita kepada Allah, tapi juga kasih sayang kita kepada
sesama manusia. Yang jelas ialah bahwa maknanya yang pertama harus praktis,
yaitu selaku perbuatan nyata yang menunjukkan keprihatinan, kepedulian dan
kasih sayang.
Adalah jika orang melihat ini, demikianlah kata Yesus, maka mereka akan
memuliakan Allah, sebab dalamnya tersirat kabar baik yang kita proklamirkan.
Tanpa perbuatan baik itu maka injil akan kehilangan kredibilitasnya dan Allah
kemuliaan-Nya.
Sama seperti garam demikian pula terang harus memenuhi satu syarat; hendaklah
terangmu bercahaya di depan orang. Itulah syarat yang menyusuli penegasan
Yesus “kamu adalah terang dunia.” Jika garam dapat kehilangan keasinannya,
demikian pula terang yang ada di dalam diri kita dapat menjadi kegelapan (ay
6:23).
Tapi kita harus memberi kesempatan kepada terang Kristus yang ada di
dalam diri kita untuk memancar keluar, sehingga terlihat kepada orang. Kita
hendaknya jangan jadi sama seperti kota ataupun perkampungan yang tersembunyi
di dasar lembah yang terangnya tidak kelihatan karena terhalangi, melainkan
seperti kota yang terletak di atas gunung, yang tidak mungkin tersembunyi dan
yang terangnya sudah kelihatan dengan jelas dari jarak jauh.
Kembali, kita harus menjadi sama seperti pelita “suatu pelita yang menyala
dan bercahaya” sama seperti Yohanes Pembaptis, ibarat pelita yang diletakkan di
atas kaki dian dan ditempatkan pada suatu posisi yang mencolok di dalam rumah,
sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu dan bukan diletakkan “di bawah
gantang” dimana ia kehilangan fungsinya sama sekali.
Artinya, sama seperti murid-murid Yesus, maka kita juga tidak boleh
menyembunyikan kebenaran yang kita ketahui atau kebenaran tentang diri kita,
sebagai orang yang telah dibenarkan. Kita tidak boleh berpura-pura bukan
pengikut Kristus, melainkan kita harus berani menunjukkan ke-kristenan kita,
sehingga gamblang bagi semua orang.
“Melarikan diri ke dalam persembunyian, berarti mengingkari panggilan
Yesus. Umat Yesus yang berusaha menyembunyikan diri adalah umat yang sudah
berhenti mengikut Yesus” demikianlah tulis Bonhoeffer. Kita harus berani menyatakan
diri kita sebagaimana adanya, diri kita kristiani kita yang sesungguhnya,
dengan hidup secara terbuka dan terus terang seperti dilukiskan dalam maklumat Bahagia
itu dan tidak malu mengakui diri kita sebagai pengikut Kristus.
Dengan melihat kita dan perbuatan baik kita, maka orang akan memuliakan
Allah. Sebab pasti akan mereka kenali, bahwa adalah berkat kasih karunia-Nya
maka kita adalah kita saat ini, bahwa terang kita adalah terang-Nya dan bahwa
perbuatan baik kita adalah perbuatan baik-Nya yang dilakukan di dalam kita dan
melalui kita.
Maka yang akan mereka muliakan ialah terang itu, bukan pelitanya; adalah
Bapa kita yang di surga yang akan mereka muliakan, bukan anak-anak-Nya yang
menggelarkan kemiripan-kemiripan tertentu dengan Bapa-Nya. Bahkan mereka yang
mencaci-maki kita, mau tidak mau akan turut mengakui kemuliaan Allah justru
gara-gara kebenaran oleh sebab mana mereka telah mencela dan menganiaya kita (ay
10-12).
Disadur dari buku “Khotbah Yesus Di Bukit” oleh John Stott
Posting Komentar untuk "Khotbah - Renungan Harian Kristen; Matius 5:13-16 "Jatidiri Kristiani Seperti Tercermin Dalam Peranannya: Garam Dan Terang" Oleh John Stott"