Saat Teduh - Renungan Harian Kristen; Matius 6:16-18 "Berpuasa Secara Kristiani" Oleh John Stott

Judul Renungan: Berpuasa Secara Kristiani
Bacaan Alkitab;
"Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu (TB).
"Dan sekarang mengenai puasa. Apabila kalian berpuasa, yaitu tidak makan karena suatu tujuan rohani, janganlah memperlihatkannya kepada orang banyak, seperti yang dilakukan orang munafik yang sengaja berpakaian kusut dan kelihatan lesu, sehingga orang lain merasa kasihan terhadap mereka! Jika demikian, sesungguhnya hanya itulah pahala yang akan mereka peroleh.
Apabila kalian berpuasa, kenakanlah pakaian yang bagus, supaya tidak ada orang yang mengetahui bahwa kalian lapar, kecuali Bapa kalian yang mengetahui segala rahasia. Ia akan memberi kalian pahala (FAYH). Matius 6:16-18
Orang Farisi berpuasa “dua kali dalam seminggu” (Luk 18:12), selasa dan
kamis. Yohanes Pempabtis dan murid-muridnya juga berpuasa secara teratur,
bahkan “sering” berpuasa, tapi tidak demikian halnya dengan murid-murid Yesus
(Mat 9:14; Luk 5:33). Jadi mengapa dalam ayat-ayat khotbah di bukit Yesus bukan
saja mengharapkan murid-murid-Nya berpuasa, melainkan mengajarkan kepada mereka
bagaimana cara melakukannya?
Disini kita bertemu dengan bagian alkitab yang biasanya tidak diacuhkan
orang. Nampaknya banyak diantara kita yang menempuh hidup kristiani dengan cara
seakan-akan ayat ini sudah dikeluarkan dari alkitab karena tidak berlaku. Kebanyakan
orang kristen sejati mengutamakan doa setiap hari dan amal bakti, tapi hanya
segelincir saja yang menaruh perhatian kepada hal berpuasa.
Ada segolongan orang kristen dengan ciri khas menitik beratkan keagamaan
yang batiniah dengan mengutamakan kesucian hati dan jiwa dan agaknya sukar
menghayati dan mengindahkan suatu praktik badani dan lahiriah seperti berpuasa.
Bukankah berpuasa itu praktek Perjanjian Lama – demikian dipertanyakan – yang
diterapkan oleh Musa untuk hari penebusan dan yang sekembalinya dari pembuangan
di Babilonia diwajibkan pada hari-hari tertentu dalam setahun, tapi sekarang
sudah dihapuskan oleh Kristus?
Bukankah murid-murid Yohanes Pembaptis datang kepada Yesus dan bertanya;
“mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tapi murid-murid-Mu tidak?” Dan
bukankah hal berpuasa itu praktik orang Roma Katolik, sehingga gereja abad
tengah mengembangkan jadwal yang rumit dari “hari-hari raya” dan “hari-hari
puasa?” bukankah hal berpuasa itu diasosiakan dengan misa dan “komuni puasa”
yang sudah berbau takhayul itu?
Semua pertanyaan itu memang dapat dijawab dengan “ya”. Tapi, janganlah
kita hanya membaca dan mengaminkan ayat-ayat yang cocok dengan selera kita.
Berikut ini beberapa fakta lain yang layak untuk kita pertimbangkan. Yesus
sendiri, Tuhan dan guru kita, berpuasa selama empat puluh hari dan malam di
padang belantara; sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
orang kepada-Nya, Ia berkata. “Waktu…. Mempelai itu diambil dari mereka, pada
waktu itulah mereka (murid-murid Yesus) akan berpuasa (Mat 9:15).
Dalam khotbah di bukit Ia mengutarakan bagaimana caranya berpuasa,
dengan pengertian bahwa Ia akan menjalankan puasa. Dan dalam Kisah Para Rasul
dan surat-surat Perjanjian Baru, kita temui beberapa rujukan perihal berpuasa
para rasul. Jadi kita tidak mungkin mengesampingkan tentang hal-hal berpuasa
sebagai praktek Perjanjian Lama yang sudah dihapuskan dalam Perjanjian Baru
atau sebagai praktek agama Katolik yang ditolak oleh orang Protestan.
Lalu, pertanyaan pertama ialah tentu, apakah artinya berpuasa? Dalam
arti sempit menjalankan puasa berarti total tidak makan dan minum. Namun,
pengertian itu juga bisa jadi secara absah diperluas mencakup baik pengertian
puasa partial maupun total, selama jangka waktu yang lebih pendek ataupun yang
lebih Panjang.
Sebutan dalam bahasa Inggris untuk sarapan pagi yaitu “Breakfast” ada
kaitannya dengan hal berpuasa, sebab pagi harinya kita “break our fast” artinya
“membatalkan puasa kita” sesudah semalaman tidak makan maupun minum.
Tak usah diragukan bahwa hal berpuasa dalam alkitab banyak kaitannya
dengan penyangkalan diri dan pendisiplinan diri. Yang pertama dan terutama
ialah bahwa “berpuasa” dan “merendahkan diri dihadapan Allah” pada dasarnya
adalah dua pengertian yang ekuivalen, senafas (Maz 35:13; Yes 58:3-5).
Kadang-kadang itu memperlihatkan penyesalan dosa di masa lalu.
Adakalanya dukacita seseorang begitu dalam atas dosa dan kesalahannya, sampai
ia menangi dan tidak mau lagi makan dan minum. Nehemia, misalnya mengumpulkan orang
Israel dan “berpuasa dengan menggunakan kain kabung” lalu “berdiri di tempatya
dan mengaku dosa mereka” (Neh 9:1-2);
Orang-orang Niniwe bertobat atas seruan nabi Yunus, dengan mengumumkan
puasa dan kain kabung (Yun 3:5); Daniel mencari Allah “sambil berpuasa dengan
menggunakan kain kabung serta abu, berdoa kepada Tuhan, Allah-nya dan mengaku
dosa umat Israel, bangsanya (Dan 9:2); dan Saulus dari Tarsus sesudah
pertobatannya, tergerak hatinya untuk menyesali penganiayaan-penganiayaan yang
dilakukannya terhadap pengikut-pengikut Kristus. Ia pun tidak makan dan minum
tiga hari lamanya (Kis 9:9).
Kadang-kadang masa kini, jika
umat Allah merasa dirinya bersalah karena berbuat dosa dan lalu menyesal, maka
adalah wajar jika ia berdukacita, menangis dan berpuasa sebagai tanda
penyesalan. Buku khotbah gereja Anglikan yang berjudul “Tentang Perbuatan-Perbuaan
Baik Dan Tentang Hal Berpuasa” menyarankan ini sebagai cara untuk
menerapkan pada diri kita sendiri ucapan Yesus, bahwa “waktunya akan datang
mempelai itu akan diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan
berpuasa”.
Artinya, mempelai itu akan “bersama kita” dan kita akan menikmati pesta
perkawinan itu, jika kita bersukacita di dalam Dia dan penyelamatan-Nya. Namun,
dapat dikatakan bahwa mempelai itu “akan diambil dari kita” dan pesta itu
dibatalkan, jika kita ditindas oleh kegagalan, penderitaan dan kemalangan.
Itulah bagi yang bersangkutan saatnya yang tepat, demikian kata buku
khotbah itu, “untuk merendahkan diri dihadapan Allah yang Maha Kuasa dengan
berpuasa dan untuk berdukacita dan menangisi dosa-dosa dengan hati yang penuh
penyesalan. Kita merendahkan diri di hadapan Allah bukan hanya dalam penyesalan
atas dosa-dosa kita pada masa lalu, melainkan juga dalam rasa kebergantungan
dari kasih karunia-Nya pada masa-masa mendatang.
Dan disini hal berpuasa itu bisa kembali lagi merupakan pengungkapan
perendahan diri kita dihadapan Allah. Sebab jika “penyesalan dan puasa” adalah
sepasang dalam alkitab, apalagi “doa dan puasa.” Doa dan puasa merupakan dua
hal yang sering digandengkan satu sama lain.
Ini bukan aturan, seolah-olah setiap kali berdoa mengikut sertakan puasa
di dalamnya selaku ketentuan khusus, tapi suatu yang perlu kita berlakukan
sewaktu-waktu; jika kita misalnya butuh mencari Allah untuk memohon suatu
bimbingan atau berkat khusus, maka untuk tujuan itu kita menjauhkan diri dari
makanan dan minuman dan hal-hal lain yang dapat membuat perhatian kita
terpecah.
Demikianlah Musa langsung berpuasa di gunung Sinai setelah Allah
memperbaharui janji bahwa Ia akan mengangkat Israel menjadi umat-Nya (Kel
24:18; Ul 9:9). Yosafat, tatkala mengetahui bahwa laskar Moab dan Amon telah
datang untuk memerangi dia, menyelurukan supaya seluruh Yehuda “mengambil
keputusan untuk mencari Tuhan dan supaya berpuasa (2 Taw 20:1).
Ratu Ester sebelum mempertaruhkan nyawanya untuk menemui raja, mendesak
Mordekhai supaya mengumpulkan semua orang Yahudi dan “berpuasa” untuk dia,
sementara ia dan dayang-dayangnya akan melakukan hal yang sama (Est 4:16). Ezra
memaklumkan puasa sebelum memimpin orang-orang buangan itu kembali ke Yerusalem
“supaya kami merendahkan diri di hadapan Allah kami dan memohon kepada-Nya jalan
yang aman bagi kami (Ez 8:21).
Tuhan Yesus sendiri seperti sudah dikemukakan langsung berpuasa sebelum
memulai pelayanan-Nya di hadapan umum (Ma4:1-2). Dan gereja perdana mengikuti
teladan-Nya, demikian pula gereja Antiokhia sebelum memberangkatkan Paulus dan
Barnabas berbuat hal yang sama sebelum mengangkat penatua-penatua di tiap
gereja baru yang mereka dirikan (Kis 13:1-3; 14:23). Jadi cukup bukti bahwa
suatu usaha yang khusus memerlukan doa dan bahwa doa yang khusus itu sebaiknya
dibarengi dengan puasa.
Masih ada alasan alkitabiah mengapa orang kristen sewaktu-waktu perlu
berpuasa. Rasa lapar adalah salah satu nafsu manusiawi yang paling asasi dan keserakahan
adalah salah satu dosa manusia yang paling asasi. Dengan demikian penguasaan
diri adalah omong kosong jika di dalamnya tidak tercakup kemampuan
mengendalikan tubuh dan ini mustahil tanpa disiplin.
Paulus mengambil olahragawan sebagai contoh. Untuk dapat memenangkan
pertandingan, fisiknya harus “fit” dan karena itu ia harus dilatih. Dalam latihan
itu termasuk seperangkat ketentuan yang ketat mengenai makanan, tidur dan
latihan, “tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai
dirinya dalam segala hal.”
Demikian pula tugas orang kristen yang “berlomba dalam perlombaan yang
diwajibkan bagi kita.” Paulus menulis tentang “melatih” tubuhnya dan “menguasainya”
seluruhnya (1 Kor 9L24-27). Ini bukan berarti seakan-akan kita harus menyakiti
atau “menghukum” diri kita secara badani.
Juga bukan supaya orang menganggap kita saleh seperti yang dilakukan oleh
orang Farisi (Luk 18:12), melainkan mendisiplin badan kita dengan tujuan
membiasakan badan tunduk kepada kita dan mematuhi kita. itulah sebabnya
berpuasa, yakni menahan badan kita mengikuti kemauannya, merupakan suatu cara
untuk meningkatkan kemampuan menguasai diri.
Alasan lain mengapa kita perlu berpuasa, ialah sengaja tidak mau maka
agar apa yang tadinya akan kita akan makan itu (atau nilai uangnya) dapat kita
bagi-bagikan kepada orang yang lapar dan yang tidak mempunyai makanan. Ada perintah
dalam alkitab yang menuntut kita berbuat demikian. Ayub dapat dengan
sesungguhnya menyatakan, bahwa ia tidak pernah “memakan makanan seorang diri”,
melainkan membagikannya dengan anak-anak yatim piatu dan janda-janda (Ayb
31:16).
Sebagai kebalikannya, apabila Allah melalui Yesaya mengutuk kemunafikan
penduduk Yerusalem dalam menjalankan puasa, maka Ia mempersalahkan mereka atas
dosa mencari kesenangan sendiri dan menindas pekerja-pekerja mereka justru pada
hari mereka berpuasa. Artinya, dalam benak atau tindakan-tindakan mereka, tidak
terlihat kaitan antara makanan yang sengaja tidak dimakan itu dengan kebutuhan
para pekerja mereka akan makanan. Perilaku agamawi mereka mencerminkan suatu
keagamaan tanpa keadilan atau kasih.
Karena itu Allah berkata “bukan! Berpuasa yang Ku-kehendaki ialah supaya
engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman,…… memerdekakan orang yang teraniaya.
Berpuasa yang Ku-kehendaki ialah supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang
yang lapar dan membawa ke rumahmu orang yang miskin yang tak punya rumah…..”
(Yes 58:6-7).
Mirip ini jugalah maksud Yesus tatkala Ia menceritakan akan perumpamaan
tentang orang kaya yang berpesta pora setiap hari , sementara seorang pengemis
yang berbaring dekat pintu rumahnya, ingin menghilangkan laparnya dengan remah-remah
yang jatuh dari meja orang kaya itu (Luk 16:19-31).
Tidak sukar untuk mencari terapan-terapannya yang lebih modern. Pada abad
ke enam belas puasa makan daging diharuskan pada hari-hari tertentu. Pada hari-hari
itu orang makan ikan sebagai gantinya. Keharusan ini bukan dari gereja
datangnya, melainkan dari pemerintah. Maksudnya untuk membantu ekonomi “kota-kota
pantai yang hidup dari penangkapan ikan” dan sekaligus membuat “harga bahan
makanan turun demi kelangsungan hidup orang miskin.”
Dewasa ini musibah kelaparan yang diderita jutaan orang di beberapa
negara berkembang, dapat kita saksian setiap hari di layer televisi. Alangkah baiknya
jika kita sewaktu-waktu (lebih baik lagi secara teratur) makan siang atau malam
dengan perut “setengah kosong.” Atau, sekali atau dua kali dalam seminggu siang
atau malamnya sama sekali tidak makan dan berjaga-jaga senantiasa agar jangan kelebihan
timbangan karena terlalu banyak makan – itu semua adalah bentuk-bentuk puasa yang
berkenan di hati Allah, karena mengungkapkan solidaritas dengan orang miskin.
Jadi, apakah kita berpuasa untuk menyatakan kesalahan kita atau suatu
dosa atau untuk berdoa, melatih kemampuan menguasai diri atau sebagai
pernyataan kasih solidaritas, alasan yang alkitabiah banyak dan kuat. Apapun alasan
kita, Yesus menganggap hal berpuasa itu tak dapat disingkirkan dari kehidupan
kristiani.
Keprihatinan-Nya ialah, sama seperti halnya memberi dan berdoa, maka dalam
berpuasapun kita tidak boleh – seperti praktik seorang yang munafik – menarik perhatian
pada diri kita sendiri. kebiasaan mereka ialah membuat “mukanya muram” dan “mengubah
air mukanya.” Kata yang diterjemahkan dengan “mengubah” (aphanizo) secara
harafiah berarti “membuat menjadi hilang” dan dengan demikian “tak dapat
dilihat atau dikenali.”
Mereka melanggar aturan kesehatan dan kebersihan atau menutupi kepala
mereka dengan tudung dan kadang-kadang memoles wajah mereka dengan abu supaya
kesannya pucat, menderita, sedih dan dengan demikian amat suci kelihatannya. Semua
dengan satu tujuan, menarik perhatian supaya dilihat dan semua orang tahu.
Sanjungan penonton itulah upah satu-satunya yang diperolehnya, lebih
dari itu tidak. “Tetapi apabila engkau berpuasa” demikian kata Yesus kepada
murid-murid-Nya, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu. Artinya,
jagalah supaya penampilanmu rapi seperti biasa. Jadi, Yesus menyarankan supaya
dandanan kita jangan seperti akan melakukan suatu acara istimewa, melainkan
sebaliknya, justru supaya tetap kelihatan biasa-biasa saja.
Sebab, seperti yang dikatakan oleh Calvin dengan tepat “Kristus bukan
mengeluarkan kita dari suatu jenis kemunafikan, dengan maksud memasukkan kita
ke jenis kemunafikan yang lain.”
Himbauan Yesus ialah agar setiap orang membersihkan rambut dan membasuh
mukanya setiap hari. Dan kebiasaan itu harus tetap mereka pertahankan saat
mereka berpuasa. Jadi orang tidak akan menduga bahwa mereka sedang berpuasa. Sehingga
lagi-lagi Bapak-mu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.
Sebab tujuan berpuasa bukan untuk mengiklankan diri sendiri, melainkan
untuk mendisiplinkan diri sendiri. Bukan untuk mencari nama baik bagi diri
sendiri, melainkan untuk merendahkan diri di hadapan Allah dan untuk menyatakan
keprihatinan kita terhadap mereka yang hidup berkekurangan. Tercapainya tujuan-tujuan
ini, itulah hadiah yang layak atas puasa kita.
Kalau kita tinjau kembali ayat-ayat ini, maka nyatalah kepada kita bahwa
yang dilakukan oleh Yesus ialah mempertentangkan dua bentuk kesalehan Farisi
dan kesalehan Kristiani. Kesalehan Farisi ialah ingin pamer, bermotifasihkan
kesombongan dan hadiahnya datangnya dari manusia. Kesalehan Kristiani
tersembunyi, bermotifasihkan kerendahan hati dan hadiahnya datangnya dari
Allah.
Untuk dapat menangkap alternatif ini lebih tajam, mungkin akan membantu kalau
kita teliti dulu sebab dan musabab dan dampak kedua bentuk kesalehan itu. Kita
akan mulai dari dampaknya. Keagamaan yang munafik adalah jahat karena tujuannya
menghancurkan. Telah kita lihat bahwa berdoa, memberi dan berpuasa semuanya
merupakan kegiatan otentik, usaha-usaha yang benar pada dirinya.
Berdoa ialah untuk mencari Allah, memberi adalah untuk melayani sesame,
berpuasa adalah untuk mendisiplinkan diri kita sendiri. Namun, dampak
kemunafikan ialah menghancurkan integritas dan kesejatian kegiatan-kegiatan
ini, karena satu demi satu disulap menjadi kesempatan untuk memamerkan kehebatan
diri sendiri.
Sekarang pertanyaannya ialah, apa penyebabnya? Seandainya penyebabnya dapat
kita pisahkan, maka kitapun akan dapat menemukan obat penawarnya. Meskipun ucapan
yang kita temukan berulang-ulang dalam ayat alkitab bagian ini ialah “supaya
mereka dilihat dan dipuji orang” namun, obyek yang merasuk perhatian orang munafik
itu bukanlah orang lain, melainkan dirinya sendiri.
“Pada akhirnya” demikian tulis Dr Lloyd – Jones “satu-satunya alasan
mengapa kita keranjingan memuaskan hati orang-orang disekitar kita, ialah agar
hati kita sendiri dipuaskan.” Sekarang jelas apa obat penawarnya. Kita harus
demikian melek terhadap kehadiran Allah, sehingga kita lupa akan diri sendiri. Dan
inilah kehendak Yesus yang harus kita camkan.
Mungkin akan lebih jelas jika kita rumuskan begini; kerahasiaan secara
mutlak adalah mustahil bagi setiap pribadi kita. Adalah mustahil melakukan, menyatakan
atau memikirkan sesuatu tanpa kehadiran satu orangpun, selaku saja ada yang
mengamati kita, yaitu Allah. Bukan seperti polisi surgawi yang “mematai-matai” apa
yang sedang kita lakukan, melainkan sebagai Bapa surgawi yang penuh kasih dan
yang selalu menantikan kesempatan untuk memberkati kita.
Jadi pertanyaannya ialah, penonton manakah yang lebih penting bagi kita,
yang duniawi atau yang surgawi, manusia atau Allah? Orang-orang munafik itu
melakukan ibadatnya “supaya mereka dilihat orang.” Kata Yunaninya ialah theathenai.
Artinya, orang itu sedang melangsungkan pertunjukkan dalam teater. Keagamaan mereka
merupakan tontonan bagi orang banyak. Orang kristen juga sadar bahwa
perilakunya disaksikan, tapi yang menyaksikannya ialah Allah.
Namun, demikian seseorang mungkin berdalih, mengapa penonton yang
berbeda menyebabkan pertunjukkan berbeda? Pasti jawabannya ialah ini. Kita dapat
menggertak penonton manusiawi; mereka dapat kita buat tertipu oleh pertunjukkan
kita. Kita dapat menggelabui mata mereka sehingga mereka yakin bahwa kita
sungguh-sungguh dalam memberi, berdoa dan berpuasa, padahal itu hanya peranan
kita saja.
Tapi, tidak di mata Allah! Kita mustahil dapat menipu Allah. Allah tidak
bisa ditipu! Sebab Allah melihat apa yang ada di lubuk hati kita. Itulah
sebabnya mengapa melakukan sesuatu dengan tujuan supaya dilihat orang, tak
dapat tidak akan merendahkan perbuatan itu sendiri, sedang melakukan sesuatu
supaya dilihat oleh Allah, tentu itu akan meninggikannya.
Jadi kita harus memilih, siapa yang akan menyaksikan perbuatan kita. Jika
kita lebih menyukai penonton manusiawi, tak ayal lagi kita pasti kehilangan
integritas kristiani kita. Hal yang sama akan terjadi jika “aku” menjadi
penonton “diriku.” Seperti kata Bonhoeffer “malahan lebih licik lagi jika aku
memainkan adegan berdoa itu dihadapan diriku sendiri selaku penonton…… aku pun
akan mampu menayangkan pertunjukkan yang memukau bahkan dengan seorang diri di dalam
kamar.”
Jadi, kita harus memilih Allah sebagai satu-satunya yang menyaksikan
perbuatan kita. Sebagaimana Yesus mengamati orang banyak memasukkan pemberian
ke dalam peti persembahan (Mar 12:41), demikian juga Allah mengamati kita
apabila kita memberi. Apabila kita berdoa dan berpuasa secara tersembunyi, Ia
hadir di situ – di tempat yang tersembunyi itu.
Allah membenci kemunafikan, tapi menyukai yang “riil.” Itulah sebabnya
pemberian, doa dan puasa kita baru bisa “riil” hanya apabila kita melek akan
kehadiran-Nya.
Disadur dari buku “Khotbah Di Bukit” oleh John Stott
Posting Komentar untuk "Saat Teduh - Renungan Harian Kristen; Matius 6:16-18 "Berpuasa Secara Kristiani" Oleh John Stott"