Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prinsip Keadilan Allah Oleh A.W. Tozer

 

Prinsip Keadilan Allah Oleh A.W. Tozer

Dalam rentang kehidupan manusia, kita terus mencari dan mengupayakan akan keadilan. Kerap kali keadilan berpihak pada kita dan kerap kali pula keadilan bukanlah milik kita. umumnya keadilan berarti setiap orang memiliki atau memperoleh hak-haknya dan menerima apa yang seharusnya ia terima.

Dalam keadaan yang baik hak setiap orang diterima secara konsisten dan seimbang – aturan-aturan yang berlaku diterima oleh semua orang dengan porsi yang sama. Tidak pilih kasih atau bersikap deskriminatif.  Di dalam konsep kekristenan keadilan lebih dari sekedar bisikan atau dorongan hati saja, keadilan adalah sifat Allah dan didasarkan di dalam Allah itu sendiri.

Tuhan menjalankan keadilan dan hukum bagi segala orang yang diperas (Maz 103:6). Ia mencintai dan menegakkan keadilan (Maz 99:4). Jadi dasar keadilan kita adalah keadilan Allah itu sendiri.

Tulisan di bawah ini tidak menggunakan istilah-istilah teologia, tetapi ditulis dengan gaya bahasa yang begitu sederhana agar mudah di mengerti dan ditulis untuk kebanyakan orang yang hatinya tergugah untuk mencari Allah. Tulisan di bawah ini merupakan hasil pemikiran A.W Tozer di dalam bukunya “Mengenal Allah Yang Maha Kudus”

Bapa kami, kami mengasihi Engkau karena keadilan-Mu. Kami mengakui bahwa pengadilan-Mu itu sepenuhnya adil dan benar. Keadilan-Mu mempertahankan susunan alam semesta dan menjami akan keselamatan semua orang yang percaya kepada-Mu. Kami hidup sebab Engkau adil – dan penuh belas kasihan. Kudus, kudus, kudus, Allah Tuhan Yang Mahatinggi, segala jalan-Mu adil dan segala perbuatan-Mu kudus. Amin

Di dalam alkitab keadilan dan kebenaran hampir tidak dapat dibedakan. Kedua kata ini berasal dari satu kata yang sama di dalam bahasa aslinya. Kata ini kadang-kadang diterjemahkan menjadi keadilan dan kadang-kadang menjadi kebenaran hal ini bergantung pada selera penerjemahnya.

Perjanjian Lama menekankan akan keadilan Allah dalam bahasa yang jelas dan lengkap dan seindah seperti yang mungkin terdapat di dalam kesusasteraan manusia. Ketika Allah menyatakan bahwa Sodom akan dibinasakan, Abraham berusaha untuk memohon akan belas kasihan bagi orang-orang benar yang ada di kota itu.

Abraham mengingatkan Allah bahwa ia tahu Allah akan berbuat sebagai Allah sekalipun dalam keadaan yang darurat. “Jauhkanlah kiranya daripada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang-orang benar bersama-sama orang fasik! Jauhkanlah kiranya yang demikian daripada-Mu! Masakan hakim segenap bumi tidak menghukum dengan Adil?” (Kej 18:25).

Pemazmur dan para nabi Israel memandang Allah sebagai pemerintah yang sangat berkuasa, yang tinggi dan diangungkan dan yang memerintah dengan adil. Awan dan kekelaman berada di sekeliling Dia, keadilan dan hukum adalah tumpuan takhta-Nya (Maz 97:2).

Mengenai Mesias yang sudah lama dinanti-nantikan, dinubuatkan bahwa apabila Ia datang, Ia akan menghakimi manusia dengan kebenaran dan yang tidak memenuhi syarat akan dihukum. Orang-orang saleh yang penuh belas-kasihan menjadi marah melihat kejahatan para pemimpin dunia dan mereka berdoa. “Ya Allah pembalas, ya Tuhan, ya Allah pembalas, tampillah! Bangunglan, ya hakim bumi, balaslah kepada orang congkak apa yang mereka lakukan! Berapa lama lagi orang-orang fasik beria-ria? (Maz 94:1-3).

Ini bukanlah permohonan untuk pembalasan pribadi, melainkan merupakan kerinduan untuk melihat menangnya keadilan moral dalam masyarakat manusia. Orang-orang seperti Daud dan Daniel mengakui ketidakbenaran mereka jika dibandingkan dengan kebenaran Allah dan akibatnya ialah doa penyesalan atau pertobatan mereka mendatangkan kuasa yang besar dan membuat mereka menjadi efektif.

Ya Tuhan, Engkaulah yang benar, tetapi patutlah kami malu seperti hari ini (Dan 9:7). Dan ketika hukuman Allah yang sudah lama ditangguhkan itu mula dijatuhkan ke atas dunia ini, Yohanes melihat orang-orang saleh yang menang berdiri di tepi lautan kaca bercampur api.

Mereka memegang kecapi Allah; nyanyian yang mereka nyanyikan ialah nyanyian Musa dan Anak Domba, dan tema nyanyian mereka ialah keadilan Allah. “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah yang MahaKuasa! Adil dan benar segala jalan-Mu, ya Raja segala bangsa! Siapakah yang tidak takut, ya Tuhan, dan yang tidak memuliakan nama-Mu? Sebab Engkau saja yang kudus; karena semua bangsa akan datang dan sujud menyembah Engkau, sebab telah nyata kebenaran segala penghakiman-Mu (Wah 15:3-4).

Dalam keadilan juga tercakup keadilan moral, kebalikan dari keadilan moral ialah ketidakadilan; yang dimaksud dengan ketidakadilan ialah tidak adanya keseimbangan dalam pikiran dan perbuatan manusia. Penghakiman merupakan penerapan dari keadilan pada suatu keadaan moral dan hal itu mungkin menyenangkan atau tidak menyenangkan, bergantung pada apakah orang yang dihakimi itu telah berlaku adil atau tidak adil dalam pikiran dan perbuatannya.

Kadang-kadang dikatakan “keadilan menuntut Allah melakukan ini,” lalu disebutkan sesuatu yang kita tahu akan dilaksanakan-Nya. Ini merupakan cara berpikir dan cara berkata yang salah, karena hal ini menuntut suatu prinsip keadilan yang di luar Allah yang memaksa Dia untuk bertindak dengan cara tertentu.

Tentu saja sebenarnya tidak ada prinsip yang demikian. Jika ada prinsip yang demikian, tentu prinsip itu lebih besar daripada Allah, karena hanya kuasa yang lebih tinggi yang dapat menyuruh sesuatu untuk menaatinya. Sebenarnya tidak ada sesuatu yang diluar tabiat Allah yang dapat menggugah Dia sedikit pun.

Semua alasan Allah berasal dari dalam pribadi-Nya yang tidak pernah diciptakan itu. Sejak kekal tidak ada sesuatu yang pernah ditanggalkan dari pribadi-Nya, dan juga tidak ada sesuatu di dalam pribadi-Nya yang pernah diubah.

 Keadilan apabila dipergunakan untuk Allah, hanya merupakan nama yang kita berikan pada suatu cara yang dilakukan oleh Allah, tidak lebih daripada itu dan apabila Allah bertindak dengan adil, Ia tida berbuat demikian supaya dapat menyesuaikan diri pada suatu ukuran pengadilan, tetapi semata-mata bertindak sebagai Allah dalam suatu keadaan yang tertentu.

Seperti juga emas itu merupakan suatu unsur tersendiri dan tidak dapat berubah atau kompromi, emas tetaplah emas dimanapun kita menjumpainya. Demikian juga Allah adalah Allah, senantiasa Allah, satu-satunya Allah, sepenuhnya Allah dan tidak dapat menjadi sesuatu yang lain daripada Allah.

Segala sesuatu di alam semesta ini baik, sejauh hal itu menyesuaikan diri dengan tabiat Allah dan tidak menyesuaikan diri dengan kejahatan. Allah merupakan prinsip keadilan moral dari keberadaan-Nya sendiri, dan apabila Ia menjatuhkan hukuman pada orang jahat atau memberi hadiah kepada orang benar, Ia semata-mata bertindak sebagai Allah, sebaga diri-Nya sendiri dan tanpa dipengaruhi oleh sesuatu yang di luar diri-Nya sendiri.

Semua ini nampaknya, tetapi hanya nampaknya, menghancurkan pengharapan orang berdosa yang bertobat untuk dapat dibenarkan. Anselm yang adalah uskup agung dari Canterbury dan juga yang merupakan seorang filsuf yang saleh, berusaha untuk mencari penyelesaian dari apa yang nampaknya bertentangan itu, yaitu antara belas kasihan dan keadilan Allah.

Ia bertanya kepada Allah, “Bagaimana dapat Engkau tidak menghukum orang jahat, jika Engkau sesungguhnya adil dan mahaadil?” (st Anselm, Prolosgium, hal 14). Untuk mendapat jawabnya ia langsung memandang kepada Allah, karena ia tahu bahwa jawabannya terletak dalam hakekat Allah. Apa yang diketemukan oleh Anselm dapat diparafraskan sebagai berikut;

Allah merupakan pribadi yang Esa, pribadi-Nya tidak terdiri atas bagian-bagian yang dapat bekerja sama secara harmonis, melainkan Ia itu Esa. Di dalam keadilan-Nya tidak ada sesuatupun yang melarang-Nya untuk berbelas kasihan. Jika kita memandang Allah sebagai kita memandang suatu pengadilan dimana seorang hakim yang baik karena dipaksa oleh hukum untuk menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang dan hakim itu menangis dan meminta maaf – itu berarti kita mempunyai pandangan tentang Allah, yang sama sekali tidak layak bagi Allah yang benar.

Allah tidak pernah mempunyai maksud-maksud yang saling bertentangan dengan diri-Nya sendiri. Tidak ada sifat Allah yang saling bertentangan.

Belas kasihan Allah berasal dari kebaikan-Nya dan kebaikan tanpa keadilan sama sekali bukanlah kebaikan. Allah tidak menghukum kita, sebab Ia itu baik, tetapi Ia tidak mungkin baik jika Ia itu tidak adil. Anselm menyimpulkan; apabila Allah menghukum orang jahat, itu adil sebab hal itu sudah selayaknya menjadi bagian mereka; dan apabila Ia tidak menghukum orang jahat, itu juga adil sebab hal itu juga sesuai dengan kebaikan-Nya; jadi Allah melakukan apa yang cocok untuk dilakukan-Nya sebagai Allah yang mahabaik.

Inilah akal yang berusaha untuk mengerti, bukan supaya ia percaya, melainkan sebab ia sudah percaya.

Penyesaian yang lebih sederhana dan lebih dikenal untuk persoalan bagaimana Allah itu dapat tetap adil, tetapi membenarkan orang yang tidak benar terdapat di dalam dokrin yang dipercayai oleh orang-orang Kristen. Apabila karena penebusan Kristus Allah tidak menghukum orang berdosa, keadilan tetap tidak diingkari, melainkan tetap dilaksanakan.

Teologia penebusan mengajarkan bahwa belas kasihan itu tidak dapat berlaku atas seseorang sebelum keadilan dilaksanakan. Hukuman yang adil atas dosa dilaksanakan ketika Kristus, pengganti kita, mati karena kita di atas kayu salib. Bagi telinga orang yang belum percaya hal ini kedengarannya sangat tidak enak, tetapi bagi orang yang beriman hal itu kedengarannya manis sekali.

Oleh karena berita ini jutaan orang diubahkan, baik secara rohani maupun secara moral dan mereka menjalankan suatu kehidupan yang penuh kuasa secara moral serta akhirnya mati dengan tenang karena mempercayainya.

Berita tentang keadilan yang dijalankan dan belas kasihan yang dilaksanakan bukan hanya merupakan teori teologia yang menyenangkan, hal itu memberitakan suatu fakta yang sangat dibutuhkan oleh batin manusia. Karena dosa kita, kita semua berada di bawah hukuman mati, ini merupakan akibat penghakiman apabila keadilan diperhadapkan dengan keadaan moral kita.

Apabila keadilan yang tidak terbatas diperhadapkan dengan kejahatan kita yang sudah menahun dan yang dilaksanakan dengan sengaja itu, maka terjadilah pertarungan yang dashyat di antara keduanya dan di dalam pertarungan ini Allah menang dan harus senantiasa menang.

Tetapi, apabila orang yang berdosa ini bertobat dan bertelut di hadapan Kristus dan memohon akan keselamatan, maka keadaan moralnya menjadi terbalik. Keadilan menghadapi keadaan yang sudah berubah itu dan menyatakan bahwa orang yang sudah percaya kepada Kristus itu benar.

Jadi dengan demikian sebenarnya keadilan itu berada di pihak anak-anak Allah yang sudah percaya. Inilah arti dari kata-kata rasul Yohanes yang sangat berani itu; Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (1 Yoh 1:9).

Tetapi keadilan Allah senantiasa melawan orang-orang berdosa dengan keras sekali. Harapan yang tipis dan kabur bahwa Allah itu terlalu baik untuk menghukum mereka yang tidak bertuhan sudah membius hati Nurani jutaan orang. Hal ini meredakan ketakutan mereka dan membiarkan mereka melakukan segala bentuk kejahatan yang menyenangkan, padahal setiap hari kematian menjadi semakin dekat dan perintah untuk bertobah sama sekali tidak dihiraukan.

Sebagai makhluk-makhluk moral yang bertanggung jawab kita tidak berani meremehkan masa depan kita yang kekal. Sajak berikut mengingatkan kita;

Yesus darah dan kebenaran-Mu

Merupakan keindahanku, jubah kemuliaanku;

Di tengah dunia yang bergolak aku mengenakannya,

Dengan sukacita aku menengadah.

 

Pada hari Tuhan yang besar aku berdiri dengan berani;

Karena siapa yang berani menuduh aku?

Melalui dari dan kebenaran-Mu aku disucikan –

Dari dosa dan ketakutan, dari rasa bersalah dan rasa malu.

               Count N.L. von Zinzendorf (Terjemahan bebas)

Posting Komentar untuk "Prinsip Keadilan Allah Oleh A.W. Tozer"