Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tokoh Pekabaran Injil Di Indonesia - Don Richardson Suku Sawi Di Irian

 

Tokoh Pekabaran Injil Di Indonesia - Don Richardson Suku Sawi Di Irian

Salah satu dari ahli teori misi praktis yang telah menarik banyak minat di dunia Barat adalah Don Richardson. Bukunya "Peace Child" (Anak Perdamaian) dan "Lords of the Earth" (Para Penguasa Bumi) yang ditujukan bagi orang-orang Kristen awam ini menyajikan tentang kerumitan dalam mengomunikasikan Injil secara lintas budaya kepada orang-orang non-Kristen, khususnya suku- suku yang jauh dari peradaban barat. Mungkin lebih dari misionaris lainnya di Amerika, dia bisa menarik baik orang awam maupun para ahli misiologi.

Prinsipnya tentang "Redemptive Analogy" (Analogi Penebusan) -- penerapan tentang prinsip keselamatan ke dalam budaya lokal -- telah menyebabkan antusiasme dan debat dalam siklus misiologi semenjak dia menjelaskan prinsip tersebut di sebuah seminar di Dallas Theological Seminary tahun 1973.

Sejak saat itu pengaruhnya telah berkembang melalui buku-buku dan artikel-artikel yang ditulisnya, konferensi yang diadakannya, pembuatan film "Peace Child", dan asosiasinya dengan U.S. Center for World Mission di Pasadena.

Dalam sebuah kebaktian di Prairie Bible Institute tahun 1955, Don Richardson, seorang pemuda yang saat itu masih berusia 20 tahun, menjawab panggilan untuk terlibat dalam pelayanan misi ke luar negeri. Panggilan yang dijawabnya ini bukanlah panggilan yang masih samar-samar -- untuk pergi ke "suatu tempat" yang belum jelas -- tetapi merupakan panggilan yang penuh kepastian untuk melayani suku- suku pengayauan (pemburu kepala manusia) di Netherlands New Guinea (sekarang Irian Jaya), dimana kekejaman merupakan cara hidup suku-suku tersebut.

Banyak orang menghadiri kebaktian di Prairie Bible Institute tersebut. dan mendengar khotbah dari Ebenezer Vine yang berusia 71 tahun dari "Regions Beyond Missionary Union" (RBMU). Prairie Bible Institute telah cukup terbiasa melihat sebagian besar lulusannya terpanggil untuk melayani di luar negeri. Di antara lulusan yang memiliki keputusan yang sama dengan Don pada saat itu adalah Carol Soderstrom, seorang gadis cantik dari Cincinnati, Ohio, yang lima tahun kemudian menjadi istri Don.

Tahun 1962, sesudah menyelesaikan kursus di Summer Institute of Linguistics dan menunggu kelahiran anak pertama mereka, Don dan Carol berlayar menuju New Guinea, dimana mereka bergabung dengan pelayanan misionaris RBMU sampai mereka ditugaskan untuk melayani suku yang ditunjuk -- suku Sawi, salah satu suku yang memiliki budaya yang merupakan gabungan antara kanibalisme dan pengayauan.

Sangat berbahaya! Tidak hanya penduduknya yang menakutkan, wilayah yang didiami suku Sawi juga merupakan tempat yang menakutkan sebagai tempat tinggal bagi istri dan anaknya yang masih berusia tujuh bulan. Namun Don tidak pernah meragukan panggilannya.

Sudah cukup beban bagi Don dan Carol untuk memikirkan ketakutan akan tempat dan penyakit berbahaya yang ada di sini. Namun mereka akan bertambah takut jika mereka tidak segera menguasai bahasa suku Sawi. Hal itu merupakan pergumulan terberat bagi mereka. Meskipun merasa "otaknya serasa mengecil" dalam proses pembelajaran bahasa itu, Don mengatur jadwalnya untuk belajar bahasa Sawi selama 8 - 10 jam sehari supaya akhirnya ia dapat menjadi komunikator yang fasih dalam bahasa Sawi.

Saat Don mempelajari bahasa Sawi dan semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari adanya rintangan-rintangan yang dihadapinya untuk mengenalkan keKristenan kepada mereka. Jurang yang memisahkan antara keKristenannya yang alkitabiah dengan keganasan suku Sawi tampaknya terlalu sulit untuk dijembatani.

Bagaimana mereka dapat menceritakan tentang Juru Selamat yang maha kasih, dan yang bersedia mati bagi mereka? Penghalang-penghalang komunikasi tampaknya susah diatasi sampai Don menemukan "Redemptive Analogy" (Analogi Penebusan)-- konsep dari suku Sawi mengenai "Peace Child" (Anak Perdamaian).

Dalam budaya mereka, suku Sawi telah menemukan cara untuk membuktikan ketulusan niat dan membangun perdamaian. Sebelumnya, suku Sawi selalu mencurigai segala pernyataan yang dilakukan untuk menjalin persahabatan, kecuali untuk satu pernyataan: Jika seorang pria bersedia menyerahkan anak laki-lakinya kepada para musuhnya, maka pria itu dapat dipercaya.

Analogi Anak Perdamaian inilah yang dipakai Don untuk menunjukkan kepada suku Sawi bahwa Allah adalah seorang Bapa yang bersedia mengorbankan putra-Nya sendiri.

Anak Perdamaian ini sendiri tidak dapat menyelesaikan semua rintangan komunikasi untuk memahami Kekristenan. Oleh karena itu Don dan Carol mencari analogi-analogi lain yang dapat dipakai untuk bersaksi. Juga sebagai seorang perawat, Carol menolong hampir sebanyak 2.500 pasien setiap bulannya.

Melalui kesabaran mereka berdua, lambat laun suku Sawi mulai mengenal Kekristenan. Don, dengan bantuan Carol, mulai menerjemahkan Perjanjian Baru dan mengajar suku Sawi untuk membaca.

Tahun 1972, setelah satu dekade melayani suku Sawi, banyak terjadi perubahan. Rumah pertemuan yang biasa dipakai untuk beribadah diperluas. Don menyarankan untuk membuat "Sawidome" -- sebuah rumah yang dapat menampung sedikitnya 1000 orang. Rumah ini menjadi "rumah perdamaian bagi mereka yang dahulu saling bermusuhan."

Setelah menyelesaikan penerjemahan Perjanjian Baru, Don Richardson dan keluarganya meninggalkan suku Sawi dan menyerahkannya di bawah pengawasan para penatua gereja mereka dan John serta Esther Mills, pasangan misionaris lainnya yang melayani suku Sawi.

Pesan Singkat

Ada harga yang harus dibayar, tidak ada jalan instan. Keselamatan yang kita terima di dalam Kristus, bukan sesuatu yang instan, Dia merelakan nyawa-Nya di dalam ketaatan kepada kehendak Bapa-Nya di salib. Ada yang harus dikorbankan dan diusahakan.

Don Richardson meresponi akan hal itu dan memberi diri untuk menjadi jembatan bagi Suku Sawi datang kepada Kristus. Ada tantangan? Sudah pasti! Tapi Pribadi yang membawa mereka ke Suku Sawi, adalah Pribadi yang kuasa-Nya melebihi tantangan dan kesulitan yang dihadapi.  

Kisah di atas memang tidaklah menceritakan detail bagaimana Don Richardson membangun hubungan pribadinya dengan Allah, tapi setidaknya kita bisa melihat bahwa, Ia adalah seoarang yang bertekun hal ini terlihat dari apa yang ia lakukan yaitu memakai waktunya 8-10 jam sehari untuk mempelajari bahasa suku Sawi.

Kasih yang telah ia nikmati di dalam Kristus, membuat dirinya untuk tidak menahan kasih itu, tetapi sebaliknya ia memberi dirinya untuk membagikan akan kasih yang telah ia terima dari Kristus kepada suku Sawi. Hanya dibutuhkan satu ketaatan dan tindakan kecil, tetapi harganya sangatlah mahal.

Kutipan tulisan di bawah ini setidaknya telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan para utusan injil dan orang Kristen pada umumnya “kita dapat menghasilkan buah itu sebagai akibat dari tinggal di dalam Kristus. Maka persekutuan dengan Kristus itu harus terjadi lebih dahulu, sebab bersakis itu bukanlah pekerjaan yang melampaui batas tenaga, tetapi hasil dari tenaga atau kuasa yang meluap dari dalam diri. Itu adalah suara Kristus yang berbicara melalui seorang kepada orang lainnya (dikutip dari buku “Pemuridan Seni Yang Hilang” oleh Leroy Eims).

Dari kisah diatas juga kita belajar bahwa Allah bisa menggunakan budaya atau cerita-cerita rakyat (metode kontekstualisasi dan inkulturasi) yang dipercaya dan ini bisa sebagai jembatan untuk suku itu datang dan mengenal Dia dengan jelas.

Diterjemahkan dan diringkas dari sumber:

Judul buku             : From Jerusalem to Irian Jaya -- A Biographical             History of Christian Missions

Judul bab               : New Methods and Strategy: Reaching Tomorrow's                            World

Penulis                   : Ruth A. Tucker

Penerbit                : Academie Books, 1983 

Halaman                    : 481-485

Posting Komentar untuk "Tokoh Pekabaran Injil Di Indonesia - Don Richardson Suku Sawi Di Irian "