Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Khotbah - Renungan Harian Dan Makna Lukas 23:43 "Ucapan Yesus Yang Kedua Di Salib" oleh Erick Sudharma

Khotbah - Renungan Harian Dan Makna Lukas 23:43 "Ucapan Yesus Yang Kedua Di Salib"

Kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." (TB), Kata Yesus kepadanya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." (BIMK). Luk 23:43

Ucapan Yesus yang kedua di kayu salib adalah; “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus (TB) - Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus (BIMK). Di tengah-tengah samudera kehidupan yang tidak pasti dan penuh tanda tanya, ucapan ini ibarat sauh yang kuat dan aman, yang telah dilabuhkan sampai ke pelabuhan yang abadi, sehingga mampu mengusir segala ketakutan dan kekuatiran bahtera jiwa kita.

“…. Sesungguhnya hari ini juga Engkau akan bersama-sama Aku di dalam Firdaus,” ucap Yesus. Disepanjang hidup manusia, yang senantiasa diwarnai oleh dosa dan penderitaan serta yang berujung pada kematian dan tanda tanya – akan kemana arah hidup? adakah ucapan yang lebih melegakan dan menenteramkan jiwa daripada ucapan ilahi ini?

Ucapan yang menyatakan kemurahan dan pengampunan ilahi, bukan bagi manusia yang memiliki perilaku terpuji dan reputasi baik, tetapi bagi penjahat yang dosanya tak terampuni di mata dunia dan yang namanya terkutuk untuk selama-lamanya. Ternyata bagi manusia yang telah menjalani hidup yang paling gelap sekalipun kemurahan dan pengampunan ilahir tersedia – anda dan saya.

Saat Yang Sangat Menggirangkan

Saat Yesus mengucapkan ucapan pertama-Nya di kayu salib adalah saat yang paling menyengsarakan di sepanjang hidup-Nya. Tubuh dan jiwa-Nya sangat tersiksa. Paku-paku besi menggoyakkan daging dan menghancurkan tulang-tulang-Nya. Paku-paku ejekan, olokan dan hujatan mencabik-cabik hati dan menghancurkan perasaan-Nya. Tetapi pada saat Yesus mengucapkan ucapan kedua-Nya di kayu salib, dalam arti tertentu, adalah saat yang sangat menggirangkan hati-Nya.

Ucapan Yesus di kayu salib yang kedua di kayu salib merupakan tanggapan terhadap salah satu ucapan seorang penjahat yang turut disalibkan dengan-Nya. Kepada temannya yang menghujat Yesus yang tersalib, ia berkata “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah.”

Selanjutnya ia berkata kepada Yesus, “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai raja” (Luk 23:40-41,42). Betapa mengharukan ucapan ini! Di dalamnya, kita berjumpa dengan tiga kenyataan menakjubkan di dalam diri seorang manusia yang paling gelap hidupnya.

Kenyataan yang menakjubkan yang pertama dalam diri sang penjahat adalah kesadaran akan keberdosaannya dan hukuman ilahi yang menantinya. Kepada penjahat lainnya ia berkata, “Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita ….” (ay 40-41). Apa arti salib bagi sang penjahat? Apa arti penderitaan yang sedang dijalaninya di puncak golgota? Jawabannya cuman satu, keadilan ditegakkan! “kita memang selayaknya dihukum, katanya.

Kata “selayaknya” berasal dari kata Yunani dikaios yang berarti “secara adil”. Salib adalah hukuman yang pantas diterima sebagai “balasan yang setimpal sesuai dengan perbuatannya.” Kejahatan apa yang dapat diperbuatnya? Kita tidak dapat memastikannya, tetapi hukuman salib itu sendiri sudah menyatakan betapa besar kejahatannya, sehingga tak terampuni sama sekali.

Mungkin ia adalah seorang perampok yang telah merugikan dan membunuh banyak orang (bdk Mat 27:38,44; Mark 15:27,32b – dimana disebut “penyamun”). Sementara tubuhnya tersiksa di kayu salib, ia teringat kepada semua kekejian yang telah diperbuatnya atas diri para kurbannya. Akhirnya ia menyadari, bahwa dirinya sangat berdosa dan pantas dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Lebih daripada itu, sang penjahat menyadari bahwa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dunia bukanlah akhir dari segalanya. Ada hukuman lain yang menantinya di balik kematian. Hukuman dari Allah sang hakim Agung. Kepada penjahat lainnya, ia berkata “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama?” hukuman yang sama dengan siapa? Bukan dengan Kristus, karena seperti yang dikatakannya, “orang ini (Yesus) tidak berbuat sesuatu yang salah.

Kalau begitu dengan siapa? – dengan dirinya sendiri, yang sama-sama dihukum karena telah berbuat jahat. Seolah-olah ia berkata kepada penjahat lainnya, “Engkau mungkin tidak takut kepada manusia yang menghukummu, bahkan kepada hukuman itu sendiri.

Tetapi masakan engkau tidak takut kepada Allah? Bukankah sebentar lagi kita akan mati dan harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada Allah yang mahaadil? Belum cukupkah engkau berbuat dosa? Mengapa engkau masih berani menghujat Yesus yang tak bersalah?.

Mengapa sang penjahat bisa berkata demikian? Ah, karena biasanya orang baru insaf menjelang kematiannya. Namun, benarkah demikian? Bukankah pada kenyataannya banyak manusia berhati keji tetap tidak insaf sekalipun maut sebentar lagi menerkamnya?

Dan tentang sang penjahat yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus, bukankah alkitab sendiri berkata, bahwa bersama-sama dengan penjahat lainnya ia pernah ikut mencela Yesus (Mat 27:44; Mark 15:32b). Tentunya, itu dilakukan di saat-saat awal penyalibannya. Sekarang ia yang tadinya ikut-ikutan mencela Yesus, menegur rekannya. Mengapa? Karena ia menyadari bahwa Yesus tidak bersalah.

Ia juga menyadari bahwa dirinya berdosa dan bahwa salib adalah hukuman yang adil baginya. Bahkan, ia menyadari hukuman ilahi yang sedang menantinya di balik kematian. Mengapa bisa demikian? Jawabannya adalah “karena firman Kristus telah menerangi hati dan pikirannya”. Firman yang mana? Firman yang diucapkan-Nya di kayu salib, “Ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34).

Firman tersebut menyingkapkan relasi Yesus yang sempurna dengan Bapa-Nya. cinta-Nya yang ajaib kepada mereka yang berlaku keji kepada-Nya. Dan kondisi dasariah manusia yang menyedihkan sebagai kurban dan budak dosa. Firman tersebut demikian menyentak batinnya dan sejah saat itu ia melihat diri dan hidupnya dalam terang semua kebenaran tersebut.

Bagaimana dengan kita? sudahkah firman Kristus menerangi hati dan pikiran kita, sehingga kita menyadari bahwa diri kita juga seorang yang berdosa – kurban dan budak dosa dan bahwa apa yang menanti kita di balik kematian adalah hukuman Allah yang mahaadil terhadap segala dosa dan kejahatan kita? jika kita sampai di titik tersebut kita akan benar-benar menyadari bahwa kebutuhan yang mutlak akan belas kasihan dan anugerah pengampunan Allah bagi kita begitu mahal dan tak ternilai.

Kenyataan yang menakjubkan yang kedua dalam diri sang penjahat adalah kesadaran tentang kebutuhan mutlaknya akan belas kasihan ilahi. Kepada Yesus ia berkata “Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai raja” (Luk 23:42).

Perhatikan baik-baik, ia tidak meminta untuk diselamatkan. Sebelumnya, penjahat yang lainnya berkata kepada Yesus, “bukankah engkau adalah Kristus? selamatkanlah diri-Mu dan kami!” ia minta diselamatkan, sekalipun permintaannya itu lebih merupakan ejekan daripada permohonan (Luk 23:39).

Tetapi sang penjahat yang insaf itu tidak meminta hal yang sama. Ia tidak berkata, “Yesus selamatkanlah aku!” ia berkata, “Yesus, ingatlah akan aku.” Sungguh mengharukan! Ia tidak berani minta yang macam-macam. Yang dimohonnya hanyalah agar Yesus mengingatnya.

Mengapa demikian? Apakah ia tidak ingin diselamatkan? Jelas ingin. Siapa yagn ingin binasa? Kalau begitu, mengapa ia tidak minta untuk diselamatkan? Jawabannya adalah karena ia menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak layak untuk memintanya. Ia tidak layak untuk diselamatkan. Ia tidak pantas diampuni. Ia pantas dihukum. Ia layak untuk dibinasakan. Kalau ia boleh mengajukan permintaan yang terakhir, maka itu adalah agar Yesus mengingatnya.

Mengingatnya sebagai apa? Sebagai seorang penjahat yang telah insaf. Hanya itu. lebih daripada itu, ia tidak berani sama sekali. Sekali lagi, bukan karena ia tidak ingin agar diselamatkan, tetapi karena ia menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak layak untuk memintanya. Kalau begitu, apa perbuatannya ini? Apa arti permintaanya ini? Tidak lain daripada penyerahan dirinya kepada belas kasihan Allah.

Sama seperti pemungut cukai dalam perumpamaan Yesus, dengan berkata “…. Ingatlah aku,” seolah-olah ia berkata, “Ya Yesus, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13). Ia menyadari kebutuhan mutlaknya akan belas kasihan ilahi!

Bagaimana dengan kita? sudahkah kita benar-benar menyadari kebutuhan mutlak akan belas kasihan ilahi? Pertanyaan ini sangatlah penting dan mendasar karena kalau belum itu hanya menunjukkan kenyataan bahwa kita belum menyadari betapa berdosa dan tak terampuninya kita di hadapan Allah yang maha suci dan adil.

Alkitab berkata bahwa “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm 3:23). Juga bahwa “Upah dosa ialah maut” (Rm 6:23). Dengan demikian alkitab menegaskan kondisi hakiki manusia yang sesungguhnya: berdosa dan harus dihukum. Kalau begitu bagaimana manusia dapat diselamatkan? Jawabannya adalah belas kasihan Allah. Belas kasihan Allah adalah satu-satunya sumber keselamatan manusia!

Kenyataan menakjubkan yang ketiga dalam diri sang penjahat adalah keyakinannya akan kemanusiaan Yesus. Ia berkata “Yesus ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai raja.” Terjemahan yang lebih tepat adalah, “…. Apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu”…… when thou comes into thy kingdom.”

Disini kita berjumpa dengan sebuah pemahaman Kristologis yang luar biasa, yang selanjutnya ditegaskan sendiri oleh Kristus setelah bangkit dari kematian, “Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya? (Luk 24:26). Kita tidak dapat memastikan sejauh mana sang penjahat mengerti pribadi dan karya Yesus.

Tetapi kata-katanya benar-benar menunjukkan kesadarannya bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya bagi Yesus, serta bahwa di balik kematian menanti kerajaan. Kapan Yesus akan masuk ke dalam kerajaan atau kemuliaan-Nya tidak diketahuinya. Yang pasti Yesus akan tiba pada saat itu dan ketika saat itu tiba, ia berharap Yesus mengingat dan mengasihinya – ia yakin akan kemesiasaan Yesus.

Bagaimana dengan kita? sudahkah kita benar-benar menyadari bahwa Yesus adalah solusi final dari persoalan hakiki kita? di point dua sumber keselamatan kita adalah belas kasihan Allah semata. Tetapi bagaimana Allah menunjukkan belas kasihannya? Apakah dengan mengampuni segala dosa dan kesalahan mereka yang insaf? Tidak, karena jika demikian Allah mengurbankan akan keadilan-Nya.

Bagaimanapun juga, dosa harus dihukum. Itulah keadilan. Kalau demikian bagaimana? Alkitab memberi tahu kita bahwa, “Dia (Yesus sang Anak Allah) yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2 Kor 5:21). Kristus dan salib-Nya adalah satu-satunya dasar keselamatan manusia!

Di sepanjang hidup-Nya, Yesus sang firman senantiasa berfirman untuk menyadarkan manusia akan ketiga hal diatas – keberdosaan dan hukuman ilahi yang menanti, kebutuhan mutlak akan belas kasihan Allah, serta kemesiasan-Nya sebagai solusi final dari persoalan hakiki manusia. Tetapi di sepanjang pelayanan-Nya belum pernah ada yang sungguh-sungguh datang kepada-Nya dengan hati yang hancur. Ada yang datang untuk minta kesembuhan dari sakit penyakit.

Yang lain datang untuk menyaksikan mujizat yang dikerjakan-Nya. Yang lain lagi untuk mendengarkan ajaran-Nya yang menakjubkan atau untuk menjadi murid-Nya dengan harapan-harapan tertentu yang berpusat pada diri mereka sendiri. Bahkan, sementara pandangan Yesus tertuju ke kayu salib, Yohanes dan Yakubus yang adalah murid-murid pilihan-Nya sendiri menunjukkan pandangan mereka justru ke tahta duniawi (Mar 10:37; bdk Mat 20:21).

Pada waktu Ia datang ke Yerusalem, sebelum kisah penderitaan-Nya dimulai, alkitab berkata, “Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, kata-Nya: wahai, betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu!” (Luk 19:41-42a).

Tangisan ini berlanjut sampai ke kayu salib. Dan betapa pedih hati-Nya, ketika mendengar hujatan salah seorang penjahat yang disalibkan di samping-Nya: “Bukankah Engkau adalah Kristus? selamatkanlah diri-Mu dan kami!” (Luk 23:39). Bukankah ia ada disana justru untuk menyelamatkan mereka? sungguh manusia tidak mengerti apa yang perlu untuk damai sejahtera mereka.

Mereka tidak tahu, bahwa untuk menciptakan damai diantara mereka dan Allah – hukuman atas dosa-dosa mereka harus ditanggung oleh Anak Allah di kayu Salib. Alkitab berkata, “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib…..” (1 Ptr 2:24a).

Tangisan Yesus atas ketidakmengertian manusia terus berlanjut. Sampai akhirnya terdengar di telinga-Nya kata-kata yang menggirangkan jiwa-Nya. Kata-kata seorang penjahat lainnya, yang menyadari keberdosaannya dan hukuman ilahi yang menantinya di balik kematian, kebutuhan mutlaknya akan belas kasihan Allah serta kemesiasan Yesus sebagai solusi final dari persoalan hakikinya.

Kata-kata yang sebenarnya merupakan ungkapan penyerahan dirinya kepada pribadi dan karya Yesus. Pada saat itulah kerinduan hati Yesus dipuaskan. Di atas kayu salib Ia memperoleh buah pertama dari injil. Saat Yesus mengucapkan ucapan-Nya yang kedua di kayu salib adalah saat yang sangat menggirangkan hati-Nya.

Janji Yesus

menanggapi permintaan penjahat, Yesus berkata, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Betapa indahnya ucapan ini bagi sang penjahat. Yesus memberikan kepadanya jauh melampaui apa yang dimintanya. Ia Cuma minta diingat.

Tetapi Yesus berkata, “Engkau akan bersama-sama dengan Aku.” Ia memikirkan akan apa yang akan datang. “Apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu,” katanya. Tetapi Yesus berkata, “Hari ini juga.” Ia hanya memikirkan ada tempat baginya, sekecil apapun itu dalam kerajaan Yesus. Tetapi Yesus memberikan kepadanya tempat yang istimewah “di dalam Firdaus.”

Apa arti ucapan Yesus tersebut? Artinya – bagi manusia seperti sang penjahat yang meyerahkan dirinya kepada Yesus, sekalipun diujung hidupnya – adalah; bukan lagi neraka, tetapi “Firdaus” yang menanti di balik kematiannya.  Apa arti “Firdaus” di sini? Dalam PB istilah ini hanya dijumpai disini di dalam 2 Korintu 12:4 dan Wahyu 2:7. Istilah Yunaninya paradeisos dan ibraninya pardes. Keduanya berasal dari dunia Persia Kuno (pairi – daeza).

Arti asalnya “tanah berpagar” atau “taman yang dikelilingi oleh sebuah tembok” (bdk Neh 2:8 – dimana muncul ungkapan “taman raja” (Ibraninya happardes lammelek). Pada abad ke 3 SM, paradeisos telah menjadi isitlah umum untuk “taman”. Dalam kitab Septuaginta (terjemahan PL dalam bahasa Yunani), istilah ini digunakan untuk bermacam-macam kebun. Termasuk dan khususnya untuk taman Eden (tiga belas kali dalam Kejadian 2 dan 3) dan kebun Allah (tiga kali dalam kitab Yesaya dan empat kali dalam kitab Yehezkiel).

Dengan demikian paradeisos diberi makna keagamaan. Karena itu, tidak mengherankan bila dalam perkembangan selanjutnya istilah ini digunakan untuk melukiskan pengharapan eskatologis umat tentang Firdaus yang akan datang (the future paradise) sebagai tempat tinggal masa depan bagi orang-orang benar. Disanalah hubungan antara manusia dan Allah yang terputus akibat kejatuhan Adam dipulihkan kembali.

Selanjutnya dalam tulisan-tulisan intertestamental Yahudi khususnya dalam literatur apokalipsis, Firdaus yang akan datang itu diidentikkan dengan Eden. Gagasan ini mengantar kepada pemikiran bahwa Firdaus juga harus ada sekarang (the present paradise), diantara penciptaan dan zaman akhir sekalipun tersembunyi (the hidden paradise).

Jadi ada tiga tahapan dari Firdaus yang satu dan sama. Pertama, kebun kuno pasca kejatuhan (the ancient garden). Kedua, Firdaus yang tersembunyi di masa kini (the present but hidden paradise) dan yang ketiga, Firdaus yang akan datang (the future paradise). Firdaus yang tersembunyi di masa kini dipandang sebagai tempat peristirahatan yang menyenangkan bagi orang-orang benar yang telah meninggal.

Firdaus ini juga akan menjadi tempat tinggal mereka kelak setelah pemenuhan zaman. Jelas Firdaus yang bersifat kini (the present but hidden paradise) yang dimaksudkan oleh Yesus dalam ucapan-Nya kepada sang penjahat (perhatikan ungkapan “hari ini juga”. Engkau akan bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus, kata Yesus. Dengan berkata demikian, Yesus memberi pemahaman baru kepada Firdaus yang tersembunyi di masa kini.

Dan sekaligus menegaskan akan keilahian-Nya. Dalam PB, ciri utama dari Firdaus tersebut adalah persekutuan dengan Yesus. Diujung hidupnya, Stefanus sang martir berdoa, “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku” (Kis 7:59). Kepada Jemaat di Korintus Rasul Paulus berkata, “…. Terlebih suka beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan” (2 Kor 5:8).

Ketika di penjara dan sedang menantikan akan keputusan final atas dirinya. Rasul Paulus berkata kepada jemaat di Filipi, “Aku di desak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus – itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu” (Fil 1:23-24). Perhatikan baik-baik ayat tersebut.

Semuanya menegaskan kenyataan bahwa Firdaus yang tersembunyi di masa kini bercirikan persekutuan dengan Yesus. Padahal, dalam pengharapan eskatologi Yahudi, Firdaus dicirikan dengan restorasi atau pemulihan hubungan dengan Allah. Kalau begitu, siapakah Yesus menurut diri-Nya sendiri dan para penulis alkitab? Ia adalah Allah sendiri.

Masuk ke dalam Firdaus berarti diam bersama-sama dengan Allah sampai selama-lamanya. Masuk ke dalam Firdaus juga berarti diam bersama-sama dengan Kristus sampai selama-lamanya. Yesus adalah Allah sendiri! Di sepanjang hidup anak manusia, adalah ucapan yang lebih melegakan, menenangkan dan menenteramkan jiwa daripada ucapan ini?

Karena ucapan ini ditujukan bukan kepada manusia yang memiliki perilaku terpuji dan reputasi baik, tetapi kepada seorang penjahat yang dosanya tidak terampuni di mata dunia dan yang namanya terkutuk untuk selamanya.

Ternyata, bagi manusia yang paling kotor sekalipun belas kasihan Allah dicurahkan. Lebih lagi, ucapan itu ditujukan bukan kepada manusia yang memiliki banyak kesempatan untuk memperbaiki perilakunya, tetapi kepada orang yang sudah divonis mati.

Ternyata bagi manusia yang sudah sampai di ujung kehidupannya sekalipun, pengampunan ilahi tersedia. Maukah kita turut mengalami belas kasihan dan pengampunan dari Kristus tersebut?

Disadur dari buku “Tujuh Ucapan Yesus Di Kayu Salib” oleh Erick Sudharma.

Beberapa catatan kaki dari buku ini;

-       Leon Morris, Luke (TNTC; Leicester: InverVarsity Grand Rapids: Eerdmans,1990

-       V.R Gordon, “Paradise” dalam Internasional Standard Bible Encyclopedia,eds. Geoffrey W. Bromiley et al. (4 Vols., Grand Rapids: Eerdmans 1992)


Posting Komentar untuk "Khotbah - Renungan Harian Dan Makna Lukas 23:43 "Ucapan Yesus Yang Kedua Di Salib" oleh Erick Sudharma"