Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Khotbah - Renungan Harian Kristen; Matius 5:3-12 "Watak Kristiani: Delapan Maklumat Bahagia" Oleh John Stott

 

Khotbah - Renungan Harian Kristen; Matius 5:3-12 "Watak Kristiani: Delapan Maklumat Bahagia"

Judul Renungan: Watak Kristiani; Delapan Maklumat Bahagia

Bacaan ayat alkitab;

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (TB). "Berbahagialah orang yang merasa tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan saja; mereka adalah anggota umat Allah! (BIMK). Matius 5:3

Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur (TB). Berbahagialah orang yang bersedih hati; Allah akan menghibur mereka! (BIMK). Matius 5:4

Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi (TB). Berbahagialah orang yang rendah hati; Allah akan memenuhi janji-Nya kepada mereka! (BIMK). Matius 5:5

Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan (TB). Berbahagialah orang yang rindu melakukan kehendak Allah; Allah akan memuaskan mereka! (BIMK). Matius 5:6

Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan (TB). Berbahagialah orang yang mengasihani orang lain; Allah akan mengasihani mereka juga! (BIMK). Matius 5:7

Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah (TB). Berbahagialah mereka yang tulus hati, karena mereka akan melihat Allah (FAYH). Berbahagialah orang yang murni hatinya; mereka akan mengenal Allah (BIMK). Matius 5:8

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (TB). Berbahagialah mereka yang mengusahakan perdamaian, karena mereka akan disebut anak-anak Allah (FAYH). Matius 5:9

Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga (TB). Berbahagialah orang yang teraniaya demi kebenaran, karena mereka memiliki Kerajaan Surga (FAYH). Berbahagialah orang yang menderita penganiayaan karena melakukan kehendak Allah; mereka adalah anggota umat Allah! (BIMK). Matius 5:10

Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat (TB). Berbahagialah kalian kalau dicela, dianiaya, dan difitnah demi Aku (BIMK). Matius 5:11

Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu. (TB). Nabi-nabi yang hidup sebelum kalian pun sudah dianiaya seperti itu. Bersukacitalah dan bergembiralah, sebab besarlah upah di surga yang disediakan Tuhan untuk kalian (BIMK). Bersukacitalah dan bergembiralah, karena pahala yang tak ternilai telah tersedia bagi kalian di surga. Ingatlah, nabi-nabi pada zaman dahulu juga dianiaya (FAYH). Matius 5:12

Setiap orang pernah mendengar tentang Yesus dari Nazareth dan tahu ajaran-Nya, pasti mengenal Maklumat Bahagian yang mengawali khotbah di Bukit. Kesederhanaan kata serta kedalaman pemikirannya telah menarik setiap generasi baru Kristen dan banyak lagi orang lain di samping mereka.

Semakin kita jelajahi implikasi-implikasinya, semakin banyak pula nampaknya yang masih harus dijelajahi. Kekayaannya tidak ada habis-habisnya. Kedalamanya tak terukur oleh kita. Sungguh tepat yang dikatakan oleh Bruce, “dalam khotbah di bukit kita sudah dekat dengan surga”.

Sebelum meninjau setiap ucapan Bahagia itu secara sendiri-sendiri, ada dua pertanyaan umum yang perlu kita bahas dalam hubungan ini. Kedua pertanyaan itu berkaikatan dengan jenis manusia yang dilukiskan dalamnya, kualias yang diagungkan.

v Manusia Yang Dilukiskan

Ucapan-ucapan Bahagia ini mencerminkan watak kristiani yang aneka warna namun seimbang. Maksudnya bukan hanya ada delapan kelompok murid yang saling berbeda dan terpisah dan yang seakan-akan memiliki ciri khas sendiri-sendiri, misalnya yang lemah lembut, yang murah hati, miskin dihadapan Allah dan suci hatinya, berdukacita dan lapar akan kebenaran, pembawa damai dan orang yang dianiaya.

Selanjutnya, kelompok manusia yang memperlihatkan ciri-ciri ini, bukanlah golongan yang mempunyai posisi istimewa, sekelompok ningrat spiritual yang berdiri jauh di atas orang Kristen lainnya. sebaliknya, maklumat Bahagia ini merupakan spesifikasi-spesifikasi Kristus sendiri mengenai bobot kristiani yang wajib dimiliki setiap orang Kristen.

Semua kualitas ini harus merupakan ciri khas semua manusia yang ingin menjadi pengikut-Nya. Sama seperti kesembilan ganda buah roh yang didaftarkan Paulus harus menjadi matang dalam watak setiap orang kristen, demikian pula kedelapan maklumat Bahagia yang dipermaklumkan Kristus itu merupakan gambaran yang ideal dari setiap warga kerajaan Allah.

Berlainan dengan karunia-karunia Roh yang berbeda-beda memperlengkapi mereka untuk tugas-tugas pelayanan yang berbeda-beda, maka roh yang sama bekerja dalam diri kita masing-masing untuk membuat semua sifat kristiani itu menjadi milik kita pribadi. Jadi, kewajiban untuk memiliki semua sifat itu merupakan tanggung jawab yang tak terelakkan bagi setiap orang Kristen.

v Kualitas-Kualitas Yang Dijunjung Tinggi

Kita tahu ada ketidakcocokan yang setidak-tidaknya verbal antara maklumat bahagian dalam injil Matius dan maklumat Bahagia dalam injil Lukas. Lukas menulis, “Berbahagialah hai kamu yang miskin” sedangkan Matius menulis “Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah”.

Selanjutnya pengkalimatan Lukas “Berbahagilah hai kamu yang sekarang ini lapar” sedangkan di dalam Matius “Berbahagialah orang yang orang yang lapar dan haus akan kebenaran.”

Akibatnya ada orang yang berpendapat bahwa versi Lukas-lah yang benar; bahwa Yesus memberikan penilaian sosial atau sosiologis atas nasib orang miskin dan orang lapar; bahwa Ia menjanjikan makanan kepada orang yang kelaparan dan kemakmuran kepada proletary dalam kerajaan Allah sedangkan Matius memspiritualkan apa yang aslinya adalah janji-janji kelimpahan material.

Namun, interpretasi demikian tidaklah masuk akal. Kecuali kita bersedia mengakui bahwa Yesus menyangkal diri-Nya sendiri atau bahwa oleh ulah penulis-penulis Perjanjian Baru yang canggung maka Yesus tampil seakan-akan mengkontradiksikan diri-Nya.

Sebab di padang gurun Yudea, dalam cobaan-cobaan yang dikisahkan Matius dalam bab sebelumnya, Yesus telah menolak tawaran iblis untuk mengubah batu menjadi roti dan menampik gagasan mendirikan suatu kerajaan dunia. Sepanjang pelayanan-Nya Ia konsisten menolak setiap godaan yang menjurus ke arah itu.

Tatkala Yesus memberi makan lima ribu orang dan khayalak ramai itu secara spontan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia serta merta menyingkirkan diri ke gunung seorang diri (Yoh 6:15).

Sewaktu Pilatus bertanya kepada-Nya, apakah tuduhan-tuduhan para pemimpin Yahudi itu terhadap diri-Nya beralasan, dan apakah Ia benar-benar berambisi merebut tampuk kekuasaan, maka jawaban yang diberikan-Nya sekelumitpun tidak goyan, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yoh 18:36). Artinya asal-usul kerajaan-Nya berlainan, sebab itu tabiat kerajaan-Nya pun berlainan.  

Maksudnya kita mengemukakan hal ini bukan hendak menonjolkan seakan-akan Yesus sama sekali tidak peduli kepada kemiskinan dan penderitaan fisik. Sebaliknya, Ia menaruh iba kepada mereka yang sengsara dan memberi makan orang yang kelaparan, dan Ia anjurkan murid-murid-Nya supaya berbuat demikian.

Namun, berkat yang didatangkan kerajaan-Nya bukanlah dalam instansi pertama keberuntungan ekonomi. Dan lagi, kalaupun Ia tidak menawarkan bantuan fisik secara langung, Ia juga tidak menjanjikannya dalam suatu surga yang bakal darang, sementara itu memproklamirkan bahwa mereka yang lapar dan miskin sebagai orang yang diberkati.

Tidak, memang adakalanya Tuhan memakai kemiskinan sebagai sarana untuk berkat spiritual, sama seperti kemakmuran dapat menjadi penghalangnya. Namun ini bukan dengan sendirinya berarti, seakan-akan kemiskinan itu suatu keadaan ideal yang diberkati Yesus. Jadi sumbang sekali, jika gereja memakai maklumat Bahagia yang pertama itu, baik itu untuk mentolerir kemelaratan orang banyak, maupun untuk menyanjung kemiskinan sukarela para biarawan atau orang-orang yang bersumpah akan menolak kepemilikan.

Kristus masih senantiasa bisa memanggil seseorang untuk menempuh suatu kehidupan dalam kemiskinan, namun adalah tidak pada tempatnya mendasarkan panggilan seperti itu pada maklumat Bahagia ini.

Kemiskinan dan kelaparan yang dimaksudkan oleh Yesus dalam maklumat Bahagia ini jelas menunjuk kepada keadaan spiritual. Adalah mereka yang “miskin di hadapan Allah” dan mereka yang “lapar dan haus akan kebenaran” yang dimaklumkan-Nya sebagai orang yang berbahagia.

Dan berdasarkan ini dapat tanpa ragu-ragu kita simpulkan bahwa juga kualitas-kualitas lain yang disebut-Nya itu adalah spiritual sifatnya. Memang benar bahwa kata Aram yang dipakai oleh Yesus itu artinya adalah “miskin” dan tidak lebih daripada itu, seperti dalam fersi Lukas.

Namun “orang miskin” yaitu orang miskin milik Tuhan, adalah sebutan bagi kelompok tertentu dalam Perjanjian Lama, dan Matius dengan cepat menterjemahkannya sebagai “orang miskin dihadapan Allah.”

Sebab yang dimaksudkan dengan orang miskin bukanlah mereka yang terbenam dalam lumpur kemelaratan, melainkan orang-orang saleh yang – untuk sebagian juga karena mereka miskin, tertintas dan tertekan atau sedang dilanda oleh kemalangan -kemalangan lain – menaruh iman dan pengharapan mereka satu-satunya pada Tuhan.

Sekarang kita sudah siap meneliti maklumat Bahagia itu secara rinci. Usaha mengklasifikasikannya sudah cukup banyak. Bukan secara semena-mena dan serampangan, melainkan seperti dikatakan oleh Chrysostomus, “menemukan semacam untaian kencana.”

Barangkali pembagian yang paling bersahaja, ialah untuk melihat pasangan empat pertama sebagai yang dilukiskan hubungan orang Kristen terhadap Allah, dan pasangan empat kedua sebagai yang melukiskan hubungan-hubungan serta kewajiban-kewajiban orang Kristen terhadap sesama manusia.

Yang Miskin Di Hadapan Allah (Ay 3)

Seperti telah dikemukakan, maklumat Bahagia ini harus kita tafsirkan dengan memakai Perjanjian Lama sebagai latar belakangnya. Pertama, miskin mempunyai arti harfiah miskin secara material. Tetapi karena orang yang sengsara itu tidak mempunyai pelarian kecuali Allah (Zef 3:12), maka ‘kemiskinan’ pun berangsur-angsur mendapat konotasi spiritual dan diidentikkan dengan kebergantungan yang rendah hati kepada Allah.

Demikianlah Pemazmur dengan menunjuk kepada dirinya sebagai ‘orang yang tertindas ini’ berseru kepada Allah di dalam kesengsaraanya dan Tuhan mendengar, Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya (Maz 34:7). ‘orang miskin’ dalam Perjanjian Lama adalah kedua-duanya, yakni orang yang menderita maupun orang yang tidak berdaya menyelamatkan dirinya dan yang oleh karena itu menggantungkan harapannya melulu kepada Allah, sementara ia mengakui bahwa ia sama sekali tidak mempunyai hak untuk itu.

Kemiskinan spiritual seperti ini sangat dijunjung tinggi dalam kitab Yesaya. Adalah ‘orang-orang sengsara dan orang-orang miskin’ yang sedang mencari air, tetapi tidak ada, lidah mereka kering kehausan, kepada siapa Allah berjanji akan membuat sungai-sungai memancar di atas bukit-bukit yang gundul, dan membuat mata-mata air membual di tengah daratan, dan akan membuat padang gurun menjadi telaga dan memancarkan air dari tanah kering (Yes 41:17-18).

‘Orang miskin’ juga dilukiskan sebagai orang yang ‘remuk’ hatinya dan orang yang “rendah hati” kepada mereka inilah Allah memandang dan (meskipun Ia, Yang Mahatinggi dan Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya), Ia bersama-sama dengan orang yang remuk dan rendah hati ini (Yes 57;15; bdg 66:1-2).

Kepada orang-orang seperti itulah – orang-orang yang telah diurapi Tuhan akan memproklamirkan kabar baik tentang pembebasan – suatu nubuat yang secara sadar telah digenapi Yesus di Sinagoge Nazaret; Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin (Yes 61:1; Luk 4:18; bdg Mat 11:15).

Selanjutnya orang kaya cenderung berkompromi dengan kekafiran sekitarnya, yang tetap setia kepada Allah adalah orang-orang miskin. Dengan demikian maka pasangan kemakmuran adalah keduniawian dan pasangan kemiskinan adalah kesalehan. Maka untuk menjadi ‘orang yang miskin di hadapan Allah’ kita harus mengakui kemiskinan spiritual kita, bahkan kebangkrutan kita dihadapan Allah.

Sebab kita semua adalah orang berdosa yang hidup di bawah amarah Allah yang suci, yang hanya layak menerima hukuman Allah. Tak ada sesuatupun yang dapat kita tawarkan, taka da sesuatu yang dapat kita pohonkan, tak ada sesuatu dengan mana kita dapat membeli perkenanan Allah. Senandung orang yang miskin di hadapan Tuhan. Tempat kita yang tepat dan layak adalah di sisi pemungut cukai dalam perumpamaan Yesus, yang dengan kepala tertunduk berseru ‘Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa ini!’

Seperti ditulis Calvin ‘hanya dia yang menganggap dirinya tak berarti sama sekali di mata Tuhan, lalu semata-mata bergantung pada anugerah Tuhan, hanya orang yang seperti itulah yang “miskin di hadapan Tuhan”

Kepada orang seperti itu dan hanya kepada orang seperti itulah diberikan kerajaan Allah. Sebab kerajaan dimana Allah memerintah selaku penguasa tunggal, suatu pemberian yang sifatnya Cuma-Cuma itu sama mutlaknya seperti ketidaklayakan kita menerimanya. Kerajaan Allah hanya dapat kita terima dalam kerendahan hati seorang kanak-kanak yang tahu dirinya tidak akan mampu sendiri.

Justru masih pada awal khotbah-Nya di bukit itu, Yesus sudah mengatakan betapa melesetnya segala pendapat duniawi dan harapan nasionalistis bangsa Yahudi akan kerajaan Allah. Kerajaan itu adalah yang diberikan kepada orang miskin, bukan kepada orang kaya; kepada yang lemah, bukan kepada yang berkuasa; kepada anak kecil yang cukup rendah hati utuk menerimanya, bukan kepada tentara yang membual bahwa mereka akan dapat merebutnya dengan kejagoan mereka.

Kalau Yesus datang kelak kedua kalinya dalam segala kemuliaan-Nya, maka yang akan masuk ke dalam kerajaan-Nya itu, bukan orang Farisi yang meyangka dirinya begitu kaya akan jasa-jasa baik, sehingga mereka menaikkan syukur kepada Allah atas keberhasilan mereka, juga bukan orang Zelot yang memimpikan suatu kerajaan yang didirikan melalui darah dan perang, melainkan pemungut-pemungut cukai dan pelacur-pelacur, sampah masyarakat, yang tahu dirinya demikian papa sehingga tidak dapat memberikan sesuatu atau mencapai sesuatu.

Satu-satunya yang dapat mereka lakukan ialah berseru kepada Allah memohon supaya dikasihani dan Allah mendengar seruan mereka. Mungkin contoh terbaik tentang kebenaran yang sama, tetapi dari satu masa sesudahnya, ialah gereja di Laodikia, yang menyebut dirinya Kristiani.

Kepada gereja ini Yohanes disuruh menyampaikan surat dari Kristus yang sudah dipermuliakan di surga. Ia mengutip kata-kata mereka yang puas dengan diri sendiri itu dan menentukan penilaian-Nya atas mereka, “Engkau berkata, “Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan …… engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat dan malang, miskin, buta dan telanjang” (Wah 3:17).

Gereja yang kelihatan ini, kendati dengan segala kegiatan dan pekerjaan kristiani yang diperlihatkannya, sama sekali bukanlah kristiani. Dalam rasa puas diri dan kecetekannya, jemaat itu (menurut Yesus) terdiri dari gembel-gembel buta dan telanjang. Tapi celakanya ialah, mereka takkan mau mengakuinya. Menurut anggapan mereka, mereka adalah kaya, bukan miskin dihadapan Allah.

Sampai sekarang syarat mutlak untuk menerima kerajaan Allah ialah pengakuan akan kemiskinan kita di hadapan Allah. Allah masih tetap menyuruh orang-orang kaya pergi dengan tangan hampa (Luk 1:53). Seperti dikatakan oleh C.H Spurgeon dengan tepat “cara supaya terangkat ke dalam kerajaan Allah, ialah dengan membiarkan diri terbenam di dalam kekosongan diri sendiri.”

Orang yang berdukacita (ay 4)

Maklumat Bahagia kedua ini mungkin lebih baik kita terjemahkan dengan “Berbahagialah orang yang tidak berbahagia” jika kita hendak mengungkap paradoks mengherankan yang terkandung di dalamnya. Dukacita yang bagaimakah itu, yang konon membuat Kristus memberkati mereka yang merasakannya?

Dari konteksnya jelas, bahwa mereka yang disini dijanjikan akan dihibur, bukan terutama mereka yang berdukacita karena kehilangan seseorang kekasih, melainkan mereka yang berdukacita karena kehilangan keadaan tidak bersalah mereka, kebenaran mereka dan harga diri mereka. Yang dimaksud Kristus disini bukan dukacita akibat kematian, melainkan dukacita akibat penyesalan.

Ini merupakan tingkat kedua dalam pemberkatan spiritual. Miskin di hadapan Allah serta mengakuinya, itu adalah satu hal. Tetapi berdukacita dan menangisinya, itu hal lain atau dalam bahasa teologi, pengakuan adalah satu hal dan penyesalan adalah hal yang lain.

Jadi perlu kita simak, bahwa hidup kristiani menurut Yesus bukan semata-mata terdiri dari kegembiraan dan gerak tawa. Ada orang kristen yang menyangka istimewah jika mereka dipenuhi dengan Roh, bahwa senyum meriah satu detik pun tidak boleh berhenti pada bibir mereka dan bahwa mereka harus tertawa dan berhaleluya senantiasa.

Ini justru tidak alkitabiah, bahkan Lukas dalam versinya tentang khotbah Yesus di bukit, menambahkan akan satu peringatan serius pada maklumat bahagian ini – “Celakalajh kamu, yang sekarang ini tertawa” (Luk 6:25). Yang benar ialah bahwa ada air mata kristiani dan terlalu sedikit dari antara kita yang pernah mencucurkannya.

Yesus mencucurkan air mata karena dosa-dosa orang lain, karena konsekuensiya yang pahit getir, yaitu penghukuman dan kematian dan karena kota Yerusalem yang tidak mau menerima Dia. Juga kita harus lebih banyak mencucurkan air mata karena jahatnya dunia ini, seperti yang dilakukan oleh orang-orang saleh milik Allah pada zaman-zaman alkitabiah.

Air mataku berlinang seperti aliran air, demikianlah dikatakan pemazmur kepada Allah “karena orang tidak berpengang pada taurat-Mu” (Maz 119:136). Yehezkiel mendengar segelincir umat Allah yang setia dilukiskan sebagai “orang-orang yang berkeluh kesah karena segala perbuatan keji yang dilakukan di Yerusalem” (Yeh 9:4).

Rasul Paulus juga menuliskan tentang guru-guru palsu yang mengacau gereja masa itu “kunyatakan pula sekarang sambil menangis, banyak orang hidup sebagai seteru salib Kristus (Fil 3:18). Tapi, bukan dosa-dosa orang lain saja yang harus menyebabkan kita mencucurkan air mata, sebab kita juga mempunyai dosa-dosa sendiri yang harus kita tangisi.

Apakah dosa-dosa itu tidak pernah membuat kita berdukacita? Apakah berlebih-lebihan jika Cranmer, tatkala ia dalam kebaktian Perjamuan Suci meletakkan kata-kata berikut pada bibir anggota jemaat “kami mengakui dan menangisi dosa-dosa dan kejahatan kami yang berlipat ganda” dan apakah Ezra keliru, kalau ia berdoa dan mengaku dosa sambil menangis dengan bersujud dihadapan rumah Allah (Ezra 10:1).

Apakah Paulus salah ketika ia merintih “Aku manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? (Rm 7:24) dan menulis kepada gereja Korintus yang berdosa itu “Tidakkah lebih patut kami berdukacita?” (1 Kor 5:2; bdg 2 Kor 12:21).

Pada hemat saya, tidak! Saya kuatir kalau-kalau kita orang Kristen, dengan menekankan arti anugerah, kadang-kadang terlalu menyepelekan arti dosa. Diantara kita tidak cukup hidup dukacita atas dosa-dosa yang telah dan masih kita perbuat. Kita seharusnya memberi kesempatan yang lebih banyak kepada dukacita ilahi, akibat penyesalan kristiani mendampakkan dirinya di dalam batin kita.

Sehingga kita menjadi sama peka dan menyerupai Kristus seperti misionaris abad ke 18, David Brainerd yang diutus ke suku-suku Indian-Amerika, yang menulis dalam buku hariannya pada tanggal 18 Oktober 1740 – “Dalam ibadah pagi saya, jiwa saya semakin larut dalam dukacita dan rasa bersalah yang pait atas aib dan kejahilan saya yang makin menjadi.” Air mata seperti ini adalah ibarat air suci yang seperti dikatakan pemazmur dalam Mazmur 56:9 “ditaruh Allah dalam kirbat-Nya”

Orang-orang yang berdukacita seperti itu, yang menangisi dosa-dosa dan kejahatan mereka akan dihibur dengan hiburan satu-satunya yang dapat melepaskan mereka dari sengsaranya, yaitu pengampunan Allah yang tidak menuntu imbalan, yang boleh diterima dengan Cuma-Cuma.

Penghiburan menurut para nabi Perjanjian Lama merupakan salah satu pemberian jasa Mesias. Dia-lah yang akan menjadi “Sang Penghibur” yang telah diurapi untuk “merawat orang-orang yang hatinya remuk” (Yes 61:1; bdg 40:1). Itulah sebabnya mengapa orang-orang saleh Allah seperti Simeon dikatakan mendambakan dan menantikan “penghiburan bagi Israel” (Luk 2:25).

Dan Kristus memang menuangkan minyak penawar dalam luka-luka kita dan mengucapkan kata-kata damai kepada hati Nurani kita yang perih dan tercabik-cabik. Namun kita masih tetap berdukacita atas malapeta penderitaan dan maut yang disebarkan oleh dosa di seantero dunia. Sebab baru pada tahap kemuliaan terakhir penghiburan Kristus akan lengkap, sebab baru pada saat itulah dosa akan tiada dan “Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka” (Wah 7:17).

Orang Yang Lemah Lembut (Ay 5)

Kata sifat Yunani praus berarti lembut, rendah hati, baik budi dan sopan dan dalamnya terkandung pengertian penguasaan diri karena tanpa itu kualitas-kualitas ini mustahil ada. Memang pada tempatnyalah jika kita sungkan terhadap citra Tuhan kita selaku “Yesus yang rendah hati, lunak dan lemah lembut, sebab menimbulkan suatu gambaran tentang Dia yang lembek dan feminim.

Namun, Ia sendiri berbicara tentang diri-Nya selaku yang “lemah lembut” (praus) dan rendah hati (Mat 11:29), dan rasul Paulus menunjuk kepada-Nya sebagai “Kristus yang lemah lembut dan ramah” (2 Kor 10:1; bdg Zak 9:9). Jadi dari sudut ilmu bahasa, memang tepat jika dalam maklumat Bahagia bagian kalimat ini diterjemahkan dengan “orang yang lemah lembut”. Tapi, kelemahlembutan yang bagaimanakah yang dimaksud disini, sehingga orang yang memilikinya disebut berbahagia?

Agaknya perlu dicatat, bahwa dalam maklumat Bahagia ini mereka yang lemah hati ditempatkan diantara mereka yang berdukacita atas dosa-dosanya dan mereka yang lapar dan haus akan kebenaran. Bentuk kelemahlembutan yang khusus, yang dituntut Yesus dalam diri para murid, pasti ada kaitannya dengan urutan ini.

Setuju dengan pendapat Dr Lloyd – Jones, yang menekankan bahwa kelemahlembutan ini terungkap dalam sikap rendah hati dan lemah lembut terhadap orang lain, akibat tahu diri atau sadar diri. Artinya, rela dengan rendah hati mengakui kebagaimanaan diri sendiri. Ia kemukakan, betapa mudahnya bagi seseorang untuk jujur terhadap diri sendiri di hadapan Allah dan mengakui dirinya orang yang berdosa di mata Allah.

Namun, ia lanjutkan, “alangkah sukarnya mengijinkan orang lain berbicara seperti itu tetntang kita”! Secara naluri kita akan menolaknya mentah-mentah. Semua kita lebih suka mengadili diri sendiri daripada membiarkan orang lain mengadili kita.

Misalnya, andaikata prinsip ini saya terapkan dalam kehidupan gerejawi, saya sama sekali tidak keberatan mengakui diri saya sebagai “orang yang bergelimang dalam dosa” dalam acara pengakuan dosa pada kebaktian hari minggu. Itu sama sekali bukan soal. Itu mudah dilakukan.

Tapi coba orang lain mendekati saya sehabis kebaktian dan menyebut saya “orang yang bergelimang dalam dosa” tentu saya akan berang! Dengan kata lain, saya sekali-kali tidak merelakan orang lain berpikir atau berbicara tentang saya, sebagaimana saya baru saja mengakuinya di hadapan Allah. Dalam sikap saya terselip kemunafikan yang asasi dan ini selalu menandakan alpanya kelemahlembutan.

Secara menarik Dr Lloyd – Jones meringkaskannya sebagai berikut; akar kelemahlembutan ialah pendapat yang jujur dan ikhlas dari seseorang mengenai dirinya sendiri…..orang yang benar-benar lemah lembut ialah orang yang sungguh malu sekaligus terpesona oleh kabaikan, tanggapan dan perlakuan Allah dan manusia terhadap dia, padahal dia tahu bahwa dia tidak layak menerimanya. Inilah yang membuat dia lemah lembut, rendah hati, peka, sabar dalam segala hubungan dengan sesama manusia.

“Orang yang lemah lembut ini” demikianlah ditambahkan Yesus, “akan memiliki bumi.” Tadinya kita sangka justru yang sebaliknya terjadi. Biasanya orang yang lemah lembut itu kita anggap takkan bisa maju-maju, sebab lumrah jika orang-orang tidak mempedulikannya atau malahan menggilasnya secara tidak mau tahu dan menginjak-injaknya. Hanya yang kuatlah yang bisa bertahan, yang alot dan tahan banting dalam pertarungan hidup ini.

Siapa lemah, ia tersingkir. Umat Israelpun harus berjuang untuk mendapat warisannya, meskipun Allah, Tuhan mereka, memperuntukkan tanah yang dijanjikan itu bagi mereka. Namun, factor yang menentukan untuk melangkah ke dalam warisan spiritual kita di dalam Kristus, bukanlah keperkasaan melainkan kelemahlembutan kita, jika kita milik Yesus Kristus (1 Kor 3:22).

Itulah andalan orang-orang saleh milik Allah pada masa Perjanjian Lama, jika orang-orang jahat nampaknya seperti akan menang. Dan itu tidak pernah diungkapkan lebih jitu daripada Pemazmur 37, yang seakan-akan dikutip Yesus dalam maklumat Bahagia yang diucapkan-Nya, “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat……Orang-orang yang rendah hati akan mewarisi negeri……orang-orang yang diberkati-Nya, akan mewarisi negeri….Nantikanlah Tuhan dan ikutilah jalan-Nya, maka Ia akan mengangkat engkau untuk mewarisi negeri dan engkau akan melihat orang-orang fasik dilenyapkan (Maz 37:1,11,22,34; bdg Yes 57:13; 60:21).

Prinsip yang sama berlaku pada masa sekarang. Orang-orang yang tidak ber-Tuhan bisa saja menepuk dada dan membual tentang kebolehannya, namun kemilikan yang sesungguhnya luput dari tangan mereka. Di lain pihak orang-orang yang lemah lembut, meskipun tersisih dan dikucilkan oleh manusia, namun karena mereka tahu apa artinya hidup dan memerintah bersama Kristus, mereka menikmati dan bahkan “memiliki bumi milik Kristus ini” karena pada hari “penciptaan kembali” mereka akan mewarisi “langit yang baru dan bumi baru” (Mat 19:28, harfiah 2 Pet 3:13; Wah 21:1).

Dengan demikian jelaslah bahwa jalan Kristus berbeda dengan jalan dunia, bahwa setiap orang kristen, meskipun ia sama seperti Paulus dalam hal “tidak bermilik” namun dapat melukiskan dirinya selaku yang “memiliki segala sesuatu” (2 Kor 6:10).

Orang Yang Lapar Dan Haus Akan Kebenaran (Ay 6)

Masih dalam nyanyian pujian Maria, orang yang miskin itu sudah dikaitkan kepada orang yang lapar secara spiritual dan kedua-duanya diproklamirkan selaku orang-orang yang diberkati.  Sebab Allah melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa (Luk 1:53).

Prinsip am diberlakukan disini secara khusus. Orang yang lapar dan haus yang dikenyangkan Allah ialah mereka “yang lapar dan haus akan kebenaran” kelaparan dan kehausan spiritual seperti itulah yang merupakan ciri khas semua anak Allah, yang ambisi utamanya ialah spiritual dan bukan material. Orang kristen bukan seperti orang kafir, yang tergila-gila kepada harta kekayaan material; itikad bulat mereka ialah mencari dahulu, mendahulukan kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Mat 6:33).

Dalam alkitab kebenaran ini mempunyai setidak-tidaknya tiga segi; legal (memenuhi hukum taurat, moral dan sosial.

Kebenaran legal ialah pembenaran, pulihnya hubungan antara manusia dan Allah atas dasar iman kepada Kristus. orang Yahudi mengejar kebenaran, demikian tulis Paulus di kemudian hari, namun mereka gagal menemukannya, sebab mereka salah kaprah. Mereka menyangka mampu “mendirikan kebenaran mereka sendiri” sehingga mereka tidak mau takluk kepada kebenaran Allah, yaitu Yesus Kristus yang adalah “kegenapan hukum taurat (Rm 9:30-10:4).

Ada juru tafsir yang menganggap ucapan Yesus dalam maklumat Bahagia ini merujuk kepada pembenaran. Namun ini hampiri tidak mungkin, sebab Yesus mengalamatkannya kepada mereka yang sudah menjadi milik kepunyaan-Nya sendiri.

Kebenaran moral adalah kesejatian watak dan perilaku seperti yang disenangi oleh Allah. Sesudah mengucapkan maklumat Bahagia-Nya, Yesus kemudian mempertentangkan kebenaran kristiani ini dengan kebenaran Farisi (ay 20). Kebenaran Farisi adalah kebenaran yang hanya kulit luarnya saja memenuhi hukum taurat; kebenaran kristiani adalah batiniah, yang mencerminkan kebenaran hati, pikiran serta motifasi dari orangnya. Akan kebenaran inilah kita harus lapar dan haus.

Namun kita keliru kalau menganggap bahwa kata alkitabiah “kebenaran” hanya berarti hubungan sejati dengan Allah di satu pihak dan di pihak lain kebenaran watak dan perilaku. Sebab kebenaran alkitabiah itu adalah lebih dari sekedar masalah “privacy” saja; dalamnya juga tercakup kebenaran sosial.

Dan kebenaran sosial seperti yang kita ketahui dan dalam hukum taurat dan kitab para nabi, keprihatinannya tertuju kepada pembebasan manusia dari segala macam penindasan, serta usaha mewujudkan hak-hak asasi, keadilan dan Lembaga-lembaga kehakiman, integritas dalam usaha bisnis dan kemurnian dalam urusan rumah tangga dan keluarga. Demikianlah orang kristen wajib lapar dan haus akan kebenaran dalam segala bidang kehidupan insani karena itulah yang berkenan kepada Allah yang Mahabesar.

Luther mengutarakan konsep ini dengan gayanya yang selalu penuh ketangkasan dan kegagahan; anda diperintahkan bukan untuk bersembunyi dengan hati yang ciut di suatu pojok atau di padang gurun, melainkan untuk keluar dari persembunyian, kalau anda tadinya memang bersembunyi dan menawarkan tangan dan kaki dan seluruh tenaga anda serta mempertaruhkan segala-galanya yang ada pada anda dan yang dapat anda perbuat.

Yang diperlukan, demikianlah ia lanjutkan adalah “suatu kelaparan dan kehausan akan kebenaran yang tak kunjung dapat dibendung, dihentikan ataupun dileyapkan; suatu kelaparan dan kehausan yang tidak menginginkan dan tidak mengindahkan apapun kecuali mewujudkan serta mempertahankan apa yang benar, sambil anggap sepele segala sesuatu yang bisa menghalang-halangi tercapainya tujuan ini. Jika dunia ini dapat anda salehkan selengkapnya, perbuatlah apa yang dapat anda perbuat.

Barangkali tidak ada rahasia keberhasilan yang lebih besar dalam kehidupan kristiani daripada “nafsu makan” spiritual yang sehat, berulang-ulang alkitab memberikan janji-janjinya kepada orang-orang yang lapar, “Allah memuaskan jiwa yang dahaga dan jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan.”

Jika kita dapati kelesuan dalam pertumbuhan spiritual kita, mungkinkah sebabnya terletak pada menurunnya nafsu makan spiritual kita? berdukacita atas dosa-dosa di masa yang lalu, itu bagus, tapi belum mencukupi – kita juga harus lapar dan haus akan kebenaran di masa yang akan datang.

Namun, selama kita masih hidup di dunia ini, kelaparan dan kehausan kita takkan kunjung terpuaskan sepenuhnya. Memang kepuasan yang dijanjikan maklumat Bahagia itu akan kita peroleh juga. Tapi, kelaparan dan kehausan kita dipuaskan hanya untuk kemudian kambuh lagi. Bahkan janji Yesus barangsiapa minum iar yang diberikan-Nya “tidak akan haus untuk selama-lamanya” itu terpenuhi hanya jika kita minum dengan tidak henti-hentinya (Yoh 4:13,14; 7:37).

Hati-hatilah mereka yang takabur, yang menyangka dirinya sudah dikenyangkan dan tidak lapar maupun haus lagi dan yang matanya tertuju kepada pengalaman yang sudah lalu dan bukan ke perkembangan yang akan datang! Sama seperti semua kualitas yang terkandung dalam maklumat Bahagia itu, maka kelaparan dan kehausan adalah ciri khas yang selalu melekat pada murid-murid Yesus, sama seperti kemiskinan spiritual, kelemahlembutan dan dukacita.

Kalau kita sudah sampai ke surga, barulah kita “tidak akan menderita lapar dan dahaga lagi” sebab baru saat itulah Kristus, gembala kita, akan menuntun kita ke mata air kehidupan kita (Wah 7:16-17). Lebih dari itu, sebab Allah telah menjanjikan kepada kita suatu hari peradilan, dimana kebenaran akan Berjaya dan kejahatan dirobohkan dan sesudahnya akan ada “langit yang baru dan bumi yang baru, dimana terdapat kebenaran (2 Pet 3:13).

Kita juga harus merindukan ditegakkannya kembali kebenaran definitive ini dan kitab oleh yakin bahwa kita takkan dikecewakan. Kalau kita tinjau apa yang sudah diuraikan sampai sekarang, maka Nampak bahwa keempat maklumat Bahagia yang pertama menunjukkan perkembangan spiritual yang logika peningkatan jenjangnya tidak terbantah.

Setiap langkah menuju ke jenjang berikutnya dengan mengasumsikan jenjang sebelumnya. Mula-mula kita harus menjadi “orang yang miskin di hadapan Allah” orang yang mengakui kebangkrutan totalnya di hadapan Tuhan. Selanjutnya kita harus “berdukacita atas apa yang telah mengakibatkan kebangkrutan total itu, yaitu dosa-dosa kita, tapi juga dosa warisan yang telah merusak kodrat manusia sehingga berperilaku jahat, dengan akibat bahwa dunia dikuasai oleh dosa dan maut.

Ketiga, kita harus “lemah lembut” rendah hati dan ramah terhadap orang lain, dengan membiarkan kemiskinan spiritual kita (yang kita akui dan ratapi) menentukan perilaku kita baik terhadap mereka maupun terhadap Tuhan. Dan keempat, kita harus “lapar dan haus akan kebenaran.” Sebab untuk apa kita mengakui dan meratapi dosa kita, mengakui kenyataan kebangkrutan kita di hadapan Tuhan dan manusia, jika Cuma sampai disitu saja dan tidak ada selanjutnya?

Pengakuan dosa harus disusuli kelaparan dan kehausan akan kebenaran – bukan di surga, melainkan di atas bumi di dalam dunia dimana kita Sekarang berada. Ini bahkan ditekankan lagi pada paraon kedua maklumat Bahagia ini, dimana tekanan terletak tidak lagi kepada Tuhan, melainkan pada hubungan manusia dan insan.

Sasaran “murah hati” itu pastilah sesama insan, dan orang “membawa damai” pastilah untuk membuat sesama insan kembali rujuk seorang dengan yang lain dan mereka yang “dianiaya” pastilah dianiaya oleh sesama insan. Karena itu agaknya kita meleset jika kita menganggap bahwa “kesucian hati” yang dituntut dari kita, adalah berkenaan dengan sikap serta hubungan kita dengan sesama insan.

Orang Yang Murah Hatinya (Ay 7)

Kemurahan hati bermuara dalam dua sikap yang saling berbeda, yaitu dalam mengasihi dan mengampuni. Kita mengasihi orang-orang yang kita lihat kesakitan, menderita sengsara atau berduka, tapi kita mengampuni orang-orang yang berbuat salah kepada kita dan yang menjahati kita. Kita memberikan pertolongan kepada orang-orang yang kita kasihani, tapi memberikan pengampunan kepada orang-orang yang berlaku jahat kepada kita.

Yang pertama mengobati, menyembuhkan dan menolong, yang kedua menghapus kesalahan dan merehabilitasi. Hanya orang yang “murah hatinya” yang dapat mengasihi dan mengampuni.

Yesus tidak merinci kategori-kategori terhadap siapa menurut Dia para murid harus murah hati. Ia tidak memberikan indikasi, entah yang dimaksudkan-Nya terutama mereka yang terkena musibah, seperti misalnya orang yang sedang bepergian dari Yerusalem ke Yerikho yang diserang oleh para perampok dan ditolong oleh orang Samaria, yang melimpahkan murah hatinya kepada orang bersangkutan.

Atau kepada mereka yang kelaparan, yang sakit dan yang tertindas, yang setiap ketemu selalu mendapat pertolongan dari Dia atau terhadap mereka yang berlaku jahat kepada kita, yang patut mendapat hukuman demi keadilan, namun dilimpahi murah hati demi pengampunan.

Yesus tidak perlu merinci atau membeberkan siapa-siapa yang dimaksud-Nya perlu mendapat murah hati kita. Allah kita adalah Allah yang menyatakan murah hati-Nya secara tidak henti-henti; karena itu sepatutnyalah kita, warga kerajaan-Nya menyatakan kemurahan hati yang sama.

Memang dunia (menurut tabiatnya), sekali-kali tidak kenal murah hati, sebagaiamana gereja yang sudah mendunia dan yang sudah kehilangan pamor keilahiannya. Dunia lebih suka membuat dirinya kebal terhadap kesengsaraan dan ratap tangis manusia. Dendam kesumatlah yang paling menggairahkan baginya, kalau bisa bersinambungan tujuh turunan.

Tapi pengampunan, buat apa? Itu terlalu jinak, lembek dan sama sekali tidak merangsang. Namun, bagi mereka yang menunjukkan murah hati, tidak ada pilihan lain yang imbalannya lebih luhur “Jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapak-mu yang di surga akan mengampuni kamu juga” (Mat 6:14).

Kita jangan keliru, ini bukan barter. Murah hati tukar murah hati atau pengampunan tukar pengampunan. Melainkan bahwa kita mustahil bisa mendapat kemurahan hati serta pengampunan Allah kecuali kita menyesali dosa-dosa kita dan bahkan kita mustahil bisa mengklaim diri kita telah menyesali dosa-dosa sendiri, jika kita tidak kenal ampun terhadap dosa-dosa orang lain.

Tidak ada motifasi yang lebih besar yang dapat menggerakkan kita untuk mengampuni orang lain daripada pengetahuan yang menakjubkan, bahwa diri kita sendiri telah diampuni. Tidak ada fakta yang lebih nyata menunjukkan bahwa diri kita telah diampuni, ketimbang kesediaan kita di dalam mengampuni orang lain.

Mengampuni dan diampuni yakni memperlakukan orang dengan murah hati dan menerima perlakuan murah hati; dua-duanya saling tidak terpisahkan, seperti yang dilukiskan Yesus dalam perumpamaan tentang hamba yang tidak mau mengampuni saudaranya (Mat 18:21-35).

Atau yang dijabarkan dalam konteks maklumat Bahagia itu orang yang “lemah lembut” adalah orang yang juga “murah hatinya.” Orang yang lemah lembut itu mengakui bahwa ia orang berdosa dan ia murah hati terhadap orang lain, karena ia tahu bahwa mereka juga berdosa seperti dia.

Orang Yang Suci Hatinya (Ay 8)

Serta merta jelas ialah, bahwa kata “hatinya” menunjuk kepada jenis kesucian yang dimaksud oleh Yesus, sama seperti kata-kata “dihadapan Allah” menunjuk kepada jenis kemiskinan yang dituntut-Nya. orang yang “miskin dihadapan Allah” adalah orang-orang yang miskin secara spiritual, yang berbeda dari orang yang kemiskinannya material. Dari kesucian yang bagaimanakah kesucian “orang yang suci hatinya” ini harus bisa dibedakan?

Menurut penalaran Pop “orang yang suci hatinya” ialah orang yang suci secara batiniah, yaitu kualitas orang yang telah disucikan dari kotoran-kotoran moral, selaku kebalikan dari kesucian yang dituntut secara ritual. Tentang ini terdapat banyak contoh dalam alkitab, istimewah dalam Mazmur-Mazmur.

Menurut orang Yahudi tidak ada orang yang boleh naik ke gunung Tuhan, kecuali dia yang “bersih tangannya dan murni hatinya” (Maz 23:3-4). Itulah sebabnya Daud sadar, bahwa Tuhan berkenan akan “kebenaran dalam batin” yang berdoa “jadikanlah hatiku tahir ya Allah” (Maz 51:8,12; bdg Maz 73:1; Kis 15:9; 1 Tim 1:5).

 Tema yang diambil Yesus dalam percakapan menentang orang Farisi dan Ia menuduh mereka karena kegandrungan mereka akan kesucian ritual yang lahiriah “Kamu orang Farisi, kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu penuh rampasan dan kejahatan.”

Mereka sama “seperti keburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih nampaknya tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran (Luk 11:39; Mat 23:25-28).

Luther terus terang dan tanpa basa-basi melukiskan beda antara kesucian batiniah dan kesucian lahiriah ini. Ia mempertentangkan kesucian hati bukan saja dengan kesucian ritual yang lahiriah itu, melainkan juga secara harfiah dengan kotoran fisik. Katanya “Kristus menghendaki hati yang suci, meskipun orangnya lahiriah mungkin pesuruh di dapur yang mukanya hitam penuh jelaga dan melakukan segala macam pekerjaan yang kotor-kotor.

Dan lagi “meskipun seorang buruh kasar, seorang tukang sepatu atau seorang pandai besi bisa dari luar nampaknya kotor, hitam dan coreng moreng atau mungkin juga bau karena ia penuh lumpur …. Dan meskipun ia lahiriah berbau busuk, namun batiniah ia laksana harus semerbak korban wangi-wangian di hadapan Allah” sebab dalam hatinya ia dengar-dengaran kepada Firman Allah serta mematuhinya.

Penitikberatan atas kesucian batiniah dan moral ini, entah bertolak belakang dengan kesucian yang lahiriah dan ritual, atau yang lahiriah dan fisik, sungguh senafas dengan seluruh khotbah di bukit, yang lebih menuntut keikhlasan hati ketimbang ketaatan secara harfiah kepada hukum.

Namun demikian, dalam konteks maklumat Bahagia pada bagian lainnya “kesucian hati” itu dalam arti tertentu agaknya berkaitan dengan hubungan-hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Prof Tasker merumuskan orang yang suci hatinya itu sebagai “orang yang lugu, yang tidak tahu bersandiwara, yang tidak diteror oleh hati yang mendua.”

Dalam hubungan ini hati yang suci itu adalah hati yang manunggal, hati yang bulat (Maz 86:11-12), yang menyiapkan jalan bagi “mata yang manunggal” yang disebut Yesus dalam bab berikut (Mat 6:22; TBI “baik).

Lebih tepat lagi, kaitan primer “hati yang suci” ialah dengan kesungguhan. Dalam Mazmur 24 diatas disebut bahwa orang “yang bersih tanggannya dan murni hatinya” adalah orang “yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan (penyembahan berhala) dan yang tidak bersumpah palsu (ay 4). Artinya dalam hubungannya terhadap Tuhan dan sesama manusia ia bersih dari segala kepalsuan. Jadi, orang yang suci hatinya itu adalah orang yang “amat bersungguh-sungguh.”

Seluruh hidup mereka, baik yang pribadi maupun yang terbuka bagi orang lain, adalah transparan di hadapan Allah dan sesama manusia. Hati mereka – termasuk pikiran dan motifasi mereka – adalah murni, tidak tercampur dengan sesuatu yang cemar dan jelek atau tersembunyi. Kemunafikan dan tipu daya tabu bagi mereka, tidak ada akal bulus pada mereka.

Tapi, berapa gelincir diantara kita yang hidupnya benar-benar manunggal dan terbuka di hadapan Allah dan manusia? Kita tergoda untuk setiap kali mengenakan kedok yang lain dan memainkan peranan yang lain menurut keadaan. Hidup kita tidak riil, kita bersandiwara dan inilah inti kemunafikan.

Ada orang yang menjalin jaringan dusta sekitar dirinya, sehingga mereka tidak mampu lagi membedakan mana yang riil dan mana yang bohong. Yesus adalah satu-satunya manusia diantara manusia, yang hatinya suci secara mutlak, sebab sekelumit kepalsuan pun tidak ada di dalam diri-Nya.

Hanya orang yang suci hatinya akan melihat Allah, melihat Dia sekarang dengan mata iman dan melihat kemulian-Nya di surga kelak, sebab hanya orang yang benar-benar bersungguh-sungguhlah yang tahan memandang penglihatan yang menyilaukan mata, yang sinarnya membuat segala kegelapan tipu daya menjadi sirna dan apinya menghaguskan segala sihir dan kemunafikan.

Orang Yang Membawa Damai (Ay 9)

Jalan pemikiran yang bergerak dari hati yang suci ke membawa damai adalah hutang yang wajar sekali, karena penyebab konflik yang paling jamak ialah intrik, sedang keterbukaan dan kesungguhan hati merupakan unsur yang paling hakiki dalam setiap rekonsiliasi yang sejati.

Menurut maklumat Bahagia ini, orang kristen dimaksudkan menjadi pembawa damai, baik dalam masyarakat maupun dalam gereja. Memang, Yesus dikemudian hari mengatakan bahwa Ia datang “bukan datang untuk damai, melainkan pedang” sebab kedatagan-Nya akan “memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari mertuanya” sehingga musuh orang ialah “orang-orang seisi rumahnya” (Mat 10:34-36).

Dan maksud-Nya dengan ini ialah bahwa kedatangan-Nya akan membawa akibat yang tidak terelakkan, yaitu konflik bahkan konflik antar seisi rumah. Jika kita ingin layak bagi Dia, maka kita harus mengasihi dan menomorsatukan Dia di atas segala-galanya, bahkan diatas sanak keluarga kita yang paling dekat dan paling kita kasihi sekalipun (Mat 10:37).

Namun jelas secara pasti dalam seluruh ajaran Yesus dan para rasul-rasul-Nya, bahwa kita sendiri tidak sekali-kali tidak boleh mencari gara-gara atau menjadi biang keladi suatu konflik. Sebaliknya, kita terpanggil untuk hidup dalam damai (1 Kor 7:15), kita harus giat mencari kedamaian (1 Pet 3:11), kita harus “hidup damai dengan semua orang” (Ibr 12:14), kita harus “hidup dalam perdamaian dengan semua orang (Rm 12:18).

Tapi pekerjaan membawa damai ini adalah pekerjaan ilahi, sebab damai berarti rekonsiliasi dan Allah adalah pencipta damai dan rekonsiliasi. Memang, kata yang sama dipakai dalam maklumat Bahagia ini dipakai oleh rasul Paulus untuk menunjukkan apa yang telah dilaksanakan oleh Allah melalui Kristus. Oleh Kristus Allah berkenan “mendamaikan segala Sesuatu dengan diri-Nya”….mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus (Kol 1:20). Dan tujuan Kristus ialah “menciptakan keduanya (Yahudi dan non Yahudi) menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya dan dengan itu mengadakan damai sejahtera (Ef 2:15).

Sebab itu tidak mengherankan jika berkat khusus yang diperuntukkan bagi pembawa damai ialah bahwa “mereka akan disebut anak-anak Allah.” Sebab mereka berusaha melakukan apa yang telah dilakukan Bapa, yaitu mengasihi manusia dengan kasih-Nya, sebagaimana akan segera akan dijelaskan Yesus secara eksplisit. Yang menjadi pengacu adalah iblis. Tapi Allah, yang cinta rekonsiliasi, Dialah yang sekarang melalui anak-anak-Nya, sebagaimana dulu anak-Nya yang satu-satunya, bertekad untuk mengadakan damai.

Dalam hubungan ini kita perlu tekankan, bahwa pengertian “mendamaikan” bukanlah sinonim dengan pengertian “meredakan.” Sebab damai Allah itu bukan damai murahan. Adalah dengan harga yang tidak terhingga tingginya Ia memperdamaikan diri-Nya dengan kita, yaitu dengan mengorbankan anak-Nya yang satu-satunya. Juga kita meskipun tidak setaraf dengan itu – akan mengalami betapa upaya membawa damai itu mahal harganya.

Dietrich Bonhoeffer telah memperkenalkan kepada kita konsep “anugerah murahan” tapi ada juga “damai sejahtera murahan.” Memproklamirkan “damai, damai” padahal tidak ada damai, itu adalah pekerjaan nabi palsu dan bukanlah kesaksian kristiani. Banyak contoh yang dapat kita berikan tentang damai yang diperoleh melalui rasa sakit dan perih.

Misalnya, jika kita sendiri terlibat dalam suatu percekcokan, maka kita akan menderita kepedihan karena harus meminta pengampunan pada orang yang sudah kita lukai hatinya atau kepedihan karena harus menegor orang yang telah menyakiti kita. Kadang-kadang kita harus menderita beban kesakitan karena harus menolak mengampuni seseorang sampai benar-benar menyesali perbuatannya.

Memang, damai murahan dapat dibeli dengan pengampunan murahan. Namun damai sejati dan pengampunan sejati adalah harta yang mahal sekali. Allah mengampuni kita hanya apabila kita sudah bertobat. Yesus mengatakan supaya kita berbuat hal yang sama, “jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia dan jikalau ia menyesal, apunilah dia” (Luk 17:3). Bukankah mustahil mengampuni suatu kesalahan yang tidak diakui maupun disesali?

Atau, mungkin kita tidak terlibat secara pribadi dalam satu sengketa, namun kita mendapati diri kita berusaha habis-habisan untuk memperdamaikan dua orang atau dua kelompok yang saling berselisih dan saling menjauhkan diri. Dalam kasus ini kita akan mengalami kepedihan karena harus dengar-dengaran, harus membebaskan diri kita dari prasangka-prasangka, harus berusaha mengambil sikap yang mengerti dan simpatik terhadap pendirian kedua pihak yang bertentangan dan harus menerima resiko disalahmengerti, tidak dihargai atau tidak berhasil.

Contoh lain dari kegiatan-kegiatan yang membawa damai, ialah pekerjaan mempersatukan gereja-gereja dan pekerjaan memberitakan injil. Artinya, di satu pihak usaha mempersatukan gereja-gereja dan di lain pihak membawa orang-orang berdosa kepada Kristus. dalam kedua-duanya ini, rekonsiliasi bisa merosot menjadi damai murahan, keesaan gereja yang memancar keluar adalah sesuatu yang harus kita wujudkan, namun kita tidak boleh memberi kesaksian yang mulia itu dengan mengorbankan ajaran kristiani yang sejati, sebab ada juga gereja-gereja yang sesat.

Yesus berdoa bagi kesatuan umat-Nya. Tapi Ia juga berdoa agar mereka juga dijauhkan dari yang jahat dan hidup senantiasa di dalam kebenaran. Kristus tidak memberi kita mandate untuk mencari keesaan di luar kemurnian, baik itu kemurnian doktrin maupun kemurnian perilaku.

Kalau ada “keesaan murahan” maka ada pula “pemberitaan injil murahan” yakni pemberitaan injil tanpa menekankan pengorbanan yang dituntut dari setiap orang Yesus, seruan untuk percaya tanpa seruan untuk bertobat. Injil adalah jalan-jalan pintas yang tidak diperbolehkan, yang mengubah penginjil-penginjil menjadi pencatut-pencatut kebenaran. Mereka merusak citra Kristus dan membuat injil menjadi barang murahan.

Orang Yang Dianiaya Oleh Sebab Kebenaran (Ay 10-12)

Rasanya ganjil bahwa Yesus mengalihkan pemberitaan dari membawa damai ke dianiaya, dari usaha merekonsiliasi ke pengalaman dimusuhi. Tapi demikianlah kenyataannya. Betapa keraspun kita berusaha mengadakan damai dengan orang-orang tertentu, namun mereka akan menolak untuk hidup dalam damai dengan kita.

Tidak semua usaha merekonsiliasi berhasil. Bahkan akan ada orang yang mengambil inisiatif untuk menentang kita, dan khususnya untuk “mencela” atau memfitnah kita. ini bukan akibat kekurangan atau keanehan kita, melainkan “oleh sebab kebenaran” (ay 10) dan “karena Aku” (ay 11). Artinya mereka tidak menyukai kebenaran yang bagi kita adalah soal hidup atau mati (ay 6) dan karena mereka menolak Kristus, Tuhan yang kita ikuti. Penganiayaan adalah tidak lain daripada bentrokan antara dua sistem nilai yang tak dapat kunjung disatukan.

Reaksi yang bagaimana yang diharapkan Yesus dari para murid jika dianiaya? Ayat 12 “bersukacitalah dan bergembiralah!” kita tidak boleh balas dendam, seperti yang dilakukan dan dianggap wajar oleh orang pada umumnya, atau merajuk seperti anak-anak atau dengan rasa kasihan kepada diri sendiri menjilat-jilat luka kita seperti seekor anjing atau tersenyum acuh, apalagi berpretensi menikmatinya seperti seorang masochist.

Lalu seharusnya bagaimana? Kita harus bersukacita sebagaimana seorang kristen harus bersukacita dan bahkan bergembira. Mengapa demikian? Di satu pihak karena, seperti ditambahkan oleh Yesus, upahmu besar di surga (ay 12a). Kita mungkin akan kehilangan segala-galanya di dunia, tetapi kita akan mewarisi segala-galanya di surga – bukan sebagai upah atas jasa, sebab seperti yang dikatakan oleh Calvin “upah itu Cuma-Cuma.”

Di pihak lain, karena penganiayaan merupakan bukti kesejatian, sertifikat keaslian kekristenan kita, sebab demikianlah juga telah dianiaya nabi-nabi sebelum kamu (ay 12b). Jika kita hari ini dianiaya, maka itu adalah pertanda kita benar-benar keturunan para nabi.

Namun, alasan utama mengapa kita harus bersukacita, ialah karena kita menderita, seperti yang dikatakan-Nya, “karena aku” (ay 11) karena kesetiaan kita kepada Dia, dan kepada ukuran-ukuran-Nya tentang kebenaran dan kebajikan. Pastilah pelajaran ini dihayati oleh para rasul dengan sungguh-sungguh, karena sesudah disesah dan diancam oleh Sanhedrin, mereka “meninggalkan sidang Mahkamah Agung dengan gembira, karena mereka telah dianggap layak menderita oleh nama Yesus” (Kis 5:41).

Harus kita catat bahwa unjukan kepada penganiayaan ini adalah juga merupakan satu maklumat Bahagia seperti yang lain. Bahkan mempunyai kelebihan, karena mengadung maklumat ganda, sebab Yesus mengatakannya mula-mula dalam oknum ketiga, sama seperti ketujuh maklumat Bahagia yang lain (berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, ay 10) dan mengulanginya kemudian dalam ucapan langsung oknum kedua (berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya….ay 11).

Berhubung yang dilukiskan dalam seluruh maklumat Bahagia itu adalah watak yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang kristen, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa keadaan dihina, dikucilkan, difitnah dan dianiaya adalah pertanda khas murid Kristus sama seperti kesucian hati dan kemurahan hati.

Setiap orang kristen haruslah membawa damai dan setiap orang kristen harus siap sedia untuk dianiaya. Mereka yang rindu kepada kebenaran akan menderita bagi kebenaran yang mereka rindukan. Ini dikatakan Yesus dalam khotbah di bukit ini, tetapi juga dalam bagian-bagian lain di dalam alkitab. Itu pula dikatakan oleh rasul-rasul-Nya, Petrus dan Paulus (baca, Yoh 15:18-25; 1 Pet 4:13-14; Kis 14:22; 2 Tim 3:12).

Kita tidak usah heran kalau kebencian kepada orang kristen meningkat, kita malah harus heran bila itu tidak terjadi. Perlu kita ingat pernyataan tambahan Yesus yang dicatat oleh Lukas “celakalah kamu, jika semua orang memuji kami” (Luk 6:26). Sebagaimana nabi-nabi palsu akan menikmati popularitas universal, demikian pula nabi-nabi Tuhan akan menderita siksaan dan pemburuan sepanjang masa.

Dalam abad ini sangat langka orang yang lebih maklum daripada Dietrich Bonhoeffer yang memahami bahwa penderitaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kesaksian kristiani. Sesaatpun Bonhoeffer tak pernah goyah dalam perjuangannya menentang rezim Nazi di Jerman, meskipun itu baginya adalah pemenjaraan, ancaman siksaan, bahaya bagi sanak saudaranya dan akhirnya kematian.

Ia ditembak mati atas perintah langsung Heinrich Himmler bulan April 1945 di camp konsentrasi Flossenburg, hanya beberapa hari sebelum tentara sekutu datang ke kota itu dan membebaskan para tahanan. Dengan kematiannya itu terpenuhilah apa yang selalu dipegang dan diajarkannya “penderitaan adalah lencana kemuridan yang sejati. Murid itu tidak lebih besar dari gurunya.

Mengikuti Kristus berarti passio passiva, menderita sebab kita mesti menderita. Itulah sebabnya Martin Luther menganggap penderitaan termasuk ciri khas gereja sejati dan salah satu memorandum yang disusun sebagai persiapan bagi pengakuan iman Augsburg dalam merumuskan gereja sebagai persekutuan dari mereka “yang disiksa dan mati martir oleh injil”….. kemuridan berarti kesetiaan pada Kristus yang menderita, dan itulah sebabnya sama sekali tidak mengherankan apabila orang kristen suatu ketika dipanggil untuk menderita. Penderitaan adalah suatu sukacita dan pertanda anugerah-Nya.

Maklumat Bahagia itu melukiskan potret seutuhnya dari seorang murid Kristus. pertama, kita lihat dia sendirian berlutut di hadapan Allah, mengakui dan menangisi kebangkrutan spiritualnya. Itu membuat dia lemah lembut dalam semua hubungannya dengan pihak lain, sebab kejujuran memaksa dia mengijinkan orang lain berpikir tentang dia sebagaimana ia sendiri berpikir tentang dirinya di hadapan Allah.

Namun, ia bukannya bertahan dengan membungkam dalam kebangkrutannya, sebab ia lapar dan haus akan kebenaran serta rindu untuk bertumbuh dalam rahmat dan kebajikan. Kemudian kita lihat dia bersama orang lain, di tengah-tengah masyarakat manusia. Hubungannya dengan Allah tidak menyebabkan dia menyendiri atau terisolasi dari duka nestapa dunia.

Sebaliknya ia berdiri di tengah-tengahnya, menumpahkan murah hati kepada mereka yang remuk oleh kejahatan dunia dan dosa. Kesungguhan hatinya terbaca bagi semua orang dalam segala perilakunya dan ia berusaha memainkan peranan membangun sebagai pembawa damai.

Namun orang tidak berterima kasih kepada dia atas usaha-usahanya, malahan memusuhi, memfitnah, menghina serta memburu dia oleh sebab kebenaran yang dibelanya dan Kristus yang ia serupai. Demikianlah potret yang dinyatakan Yesus “berbahagia.” Artinya, berkenan bagi Allah dan telah menemukan kepenuhan eksistensinya sebagai manusia.

Namun, dalam semuanya ini, nilai dan tolak ukur Yesus mutlak bertentangan dengan nilai dan tolak ukur yang dianut oleh dunia. Yang dianggap berbahagia oleh dunia adalah si kaya. Bukan si miskin, termasuk si miskin dalam arti spiritual. Yang dianggap berbahagia adalah si pencari kesenangan dan yang maunya menang sendiri dan yang tidak mempedulikan orang lain.

Bukan si lugu yang demikian prihatin terhadap kejahatan di sekitarnya, sehingga ia berdukacita. Yang dianggap berbahagialah adalah si kuat dan kurang ajar, bukan si lemah lembut atau si perut kenyang, bukan si perut kosong atau mereka yang hanya mau mengurus kepentingan diri sendiri, bukan mereka yang mau ikhlas terlibat dengan urusan orang lain dan menggunakan waktunya tanpa imbalan untuk “menunjukkan murah hati” dan “mendamaikan” atau mereka yang berkecukupan, kalau perlu, dengan mengorbankan kepentingan orang lain, bukan mereka yang suci hatinya dan yang integritasnya tak bisa di tawar-tawar; mereka yang hidup berpandang dan serba terjamin, bukan mereka yang harus menderita karena diburu dan teraniaya.

Barangkali tidak ada yang lebih membenci “kelembekan” khotbah di bukit seperti Friedrich Nietzhe. Meskipun ia adalah putra dan cucu pendeta Lutheran, ia sudah menolak kekristenan sewaktu ia masih mahasiswa. Buku karangannya yang berjudul Si Anti Kristus (gelar yang diberikan pada dirinya sendiri dalam tulisan otobiografiya, Ecce homo) adalah polemiknya yang paling sengit melawan kekristenan, yang ditulisnya pada tahun 1888, satu tahun sebelum ia menjadi gila.

Dalamnya ia rumuskan yang “baik” sebagai “segala Sesuatu yang bisa meningkatkan perasaan berkuasa, kemauan untuk berkuasa, kekuasaan itu sendiri berada di dalam diri manusia.” Dan yang “buruk” sebagai “segala sesuatu yang lahir dari kelemahan.” Konsekuensinya ialah, bahwa sebagai jawaban atas pertanyaanya sendiri “apakah yang lebih berbahaya dari segala kejahatan?”

Ia mengatakan “itu adalah simpati kepada yang lemah dan mengambang, yaitu kekristenan.” Ia melihat kekristenan sebagai agam yang menuntut belas kasihan, padahal suatu agama seharusnya menuntut kekuasaan, jadi “tidak ada dalam masyarakat kita yang tidak sehat ini sesuatu yang lebih tidak sehat daripada agama belas kasihan orang kristen.

Hina sekali anggapannya terhadap orang kristiani tentang Allah yang ia sebut “Allah dari orang sakit, Allah sebagai laba-laba, Allah sebagai roh” – suatu konsep darimana “segala keunggulan, kegagahan, kecemerlangan, semarak” telah dipreteli. Dalam seluruh alkitab Perjanjian Baru, hanya ada satu tokoh yang layak dihormati, demikianlah ia tegaskan dan itu adalah Pontius Pilatus, gubernur Roma.

Sebaliknya, ia meremehkan Yesus sebagai “Allah pada kayu salib” serta kekristenan sebagai “malapetaka terburuk yang bisa menimpa umat manusia.” Alasan serangannya yang sengit ini adalah gamblang. Yesus sebagai tokoh idaman dianggap ingusan. Tidak ada sekelumitpun kecondongan pada Yesus yang mengacu pada tokoh “supermen” seperti yang diunggulkan oleh Nietzsche.

Jadi Nietzche dengan sekali sapu mengesampingkan seluruh sistem nilai Yesus. “saya mengharamkan kekristenan” demikianlah ia tulis. Tak ada sesuatupun yang tak tercemar oleh kebejatan moral gereja kristen, tak ada nilai yang dirongrong olehnya. Sebab itu (dalam kata-kata terakhir bukunya) ia menyerukan suatu revaluasi (penilaian ulang) segala nilai.

Tapi Yesus tidak mau tolak ukur-Nya diutak-atik supaya bisa berterima kasih bagi Nietzsche atau bagi pengikut-pengikut Nietzsche atau bagi siapa saja yang dari kita yang mungkin secara tidak sadar telah memberikan ruang dalam pemikirannya kepada serpihan-serpihan atau potongan-potongan paham kekuasaan, entah itu dari Nietsche, filsafat ekonomi Jepang atau hegemoni Amerika.

Dalam maklumat Bahagia itu Yesus melontarkan tantangan fundamental kepada dunia dan wawasannya, dengan menuntut para murid-Nya menganut nilai-nilai-Nya yang mutlak berbeda dengan itu. Seperti dikatakan Thielicke “setiap orang yang terhisap ke dalam persekutuan dengan Yesus harus menjalani suatu transvaluasi (pemutarbalikan) nilai-nilai.”

Inilah yang menurut Bonhoeffer (yang kebetulan dibesarkan dalam tradisi Lutheran yang sama seperti Nietzsche) dirumuskan sebagai “keluarbiasaan-keluarbiasaan” hidup kristiani. Dengan setiap maklumat Bahagia, demikianlah tulisnya, “jurang makin melebar antara para murid dan orang-orang lain dan panggilan untuk keluar dari jajaran khalayak ramai menjadi makin memanifes.” Itu istimewa menonjol dalam pemberkatan orang-orang yang berdukacita.

Yang dimaksud Yesus dengan orang yang berdukacita, ialah orang yang menolak untuk menjadi seragam dengan dunia atau menyesuaikan diri kepada standar-standarnya. Mereka ini berdukacita atas dunia, atas kesesatannya, nasibnya dan kemalangannya.

Sementara dunia berpesta pora, mereka berdiri di samping dan sementara dunia berjoget dan sambil bernyanyi bersukaria “Marilah kemari, hei, marilah kemari” mereka yang berdukacita. Mereka sadar bahwa kendati segala kemeriahan pesta pora di atas kapal, namun kapal yang mereka tumpangi sudah tenggelam.

Dunia bermimpi tentang kemajuan, tentang kekuasaan dan masa depan, tetapi para murid merenung tentang akhir zaman, peradilan terakhir dan kerajaan Allah yang mendatang. Dunia takkan mampu meningkat hingga ke ketinggian seperti itu. itulah sebabnya para murid akan tetap menjadi orang asing dalam dunia ini, tamu-tamu yang tidak disukai dan pengacau-pengacau keamanan dan ketertiban. Tidak mengherankan jika dunia menolak mereka! itulah jatidiri orang kristen.

Pemutarbalikkan nilai-nilai manusiawi adalah asasi bagi keagamaan yang alkitabiah. Jalan dari Allah yang kita kenal dalam alkitab nampaknya jungkir balik bagi manusia. Sebab Allah meninggikan orang yang rendah hati dan merendahkan orang yang tinggi hati, menyebut yang pertama sebagai yang terakhir dan yang terakhir sebagai yang pertama, menganggap besar seorang hamba, menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa dan memproklamirkan orang yang lemah lembut sebagai ahli waris-Nya.

Kebudayaan dunia dan kebudayaan tandingan Yesus Kristus adalah saling bertolak belakang. Singkatnya Yesus mengucapkan selamat kepada mereka yang oleh dunia dianggap paling hina dan menyebut orang-orang buangan dunia sebagai yang “berbahagia.”

Disadur dari buku “Khotbah Di Bukit” oleh John Stott

Posting Komentar untuk "Khotbah - Renungan Harian Kristen; Matius 5:3-12 "Watak Kristiani: Delapan Maklumat Bahagia" Oleh John Stott"