Saat Teduh - Renungan Harian Kristen; Markus 15:34 "Yesus Ditinggalkan Oleh Tuhan" - Oleh Paul Washer
Judul Renungan; Yesus – Ditinggalkan oleh Tuhan
Salah satu nas dalam
Kitab Suci yang paling mengganggu, bahkan sering muncul dalam pikiran kita
adalah catatan Markus tentang seruan Mesias saat Ia tergantung di atas Salib
Romawi. Dengan suara yang keras Ia berseru:
Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (TB). Lalu dengan nyaring Yesus berseru, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani? " ("Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? ") (FAYH). Markus 15:34
Kita mengetahui bahwa
Putra Tuhan tidak memiliki kesalahan apa pun di dalam diri-Nya dan Ia memiliki
persekutuan yang sempurna dengan Sang Bapa, oleh karena itu sangatlah sulit memahami
kata-kata yang Yesus Kristus ucapkan. Namun di dalam kata-kata yang
diserukan-Nya, makna Salib disingkapkan dan kita menemukan alasan kematian
Kristus. Dengan mengetahui fakta bahwa perkataan Yesus tersebut juga dicatat
dalam bahasa Ibrani, hal ini menyatakan kepada kita betapa pentingnya
kalimatkalimat tersebut. Sang penulis, Markus, tidak ingin kita menjadi salah
paham atau melewatkan artinya begitu saja!
Dalam kata-kata ini,
Yesus tidak hanya sedang berseru kepada Tuhan namun sebagai guru yang sempurna,
Ia juga sedang mengarahkan mereka yang sedang melihat-Nya dan semua pembaca di
masa depan, kepada salah satu nubuat tentang Sang Mesias yang paling penting
dari Perjanjian Lama, yaitu Mazmur 22. Meskipun keseluruhan Mazmur tersebut
berisi banyak nubuatan-nubuatan terperinci tentang Salib, kita akan memusatkan
perhatian kita hanya kepada enam ayat yang pertama saja.
“Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Jauh Engkau dari keselamatanku, dan dari ucapan rintihanku. Ya Tuhanku, aku berseru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab; dan pada waktu malam, tetapi tidak ada ketenangan bagiku. Namun Engkaulah yang kudus, yang bersemayam di atas puji-pujian orang Israel. Leluhur kami percaya kepada-Mu; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka. Mereka berseru kepada-Mu, dan diluputkan; mereka percaya kepada-Mu dan tidak dipermalukan. Namun aku ini seekor cacing dan bukan manusia; suatu celaan bagi manusia, dan dihina oleh bangsa. Maz 22:2-7
Pada zaman Yesus,
nas-nas Kitab Suci dalam bahasa Ibrani tidak disusun dalam pasal-pasal dan
ayat-ayat seperti sekarang ini. Oleh karena itu, ketika seorang guru hendak
mengarahkan para pendengarnya kepada suatu bagian Mazmur tertentu atau
ayat-ayat yang lain, maka ia akan mengutip baris-baris pertama dari teksnya.
Dalam seruan-Nya di kayu
Salib ini, Yesus mengarahkan kita kepada Mazmur 22 dan Ia menyingkapkan kepada
kita sesuatu tentang karakter dan tujuan penderitaan-Nya. Dalam ayat 2 dan 3,
kita mendengar keluhan Mesias. Ia menganggap Diri-Nya telah ditinggalkan oleh
Tuhan. Markus memakai kata dalam bahasa Yunani egkataleípo, yang berarti
meninggalkan, menyerahkan sepenuhnya, atau meninggalkan sendirian tanpa
pertolongan.
Penulis Mazmur
menggunakan kata dalam bahasa Ibrani 'azab', yang berarti meninggalkan,
melepaskan, atau menyerahkan sepenuhnya. Dalam kedua kasus tersebut, maksudnya
sudah jelas. Sang Mesias sendiri menyadari bahwa Tuhan telah meninggalkan Dia
dan tidak mendengar teriakan-Nya. Ini bukanlah ditinggalkan secara simbolis
atau puitis. Mesias sungguhsungguh memang ditinggalkan! Jika ada manusia yang
pernah merasa ditinggalkan oleh seseorang, maka Dialah, Sang Putra Tuhan yang
benarbenar merasakan bagaimana ditinggalkan oleh Tuhan di atas Salib di
Golgota!
Dalam ayat 5 dan 6 di
Mazmur ini, kepedihan yang dirasakan oleh Sang Mesias semakin bertambah dahsyat
ketika Ia mengingat kesetiaan perjanjian Tuhan kepada umat-Nya. Ia menyatakan:
“Leluhur kami percaya kepada-Mu; mereka percaya, dan Engkau meluputkan mereka. Mereka berseru kepada-Mu, dan diluputkan; mereka percaya kepada-Mu dan tidak dipermalukan.”(Maz. 22:5-6).
Pertentangan ini nampak
begitu jelas. Belum pernah ada satu contoh pun dalam sejarah umat pilihan Tuhan
bahwa orang yang benar dan berteriak kepada Tuhan yang tidak dibebaskan. Namun,
sekarang Mesias yang tanpa dosa sedang tergantung di atas salib dan benar-benar
ditinggalkan. Kirakira apa alasan Tuhan untuk menarik Diri-Nya? Mengapa Ia
berpaling dari Putra Tunggal yang dikasihi-Nya?
Dalam jalinan keluhan
Sang Mesias ditemukanlah jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu
ini. Dalam ayat 4, Ia menyatakan dengan tegas bahwa Tuhan itu kudus. Dalam ayat
7 Ia mengakui sesuatu yang tak terkatakan - Ia telah menjadi seekor cacing dan
bukan manusia. Mengapa Sang Mesias memakai kata-kata yang sangat merendahkan
Diri-Nya sendiri? Apakah Ia melihat Diri-Nya sendiri sebagai seekor cacing
karena Ia telah menjadi “suatu celaan bagi manusia dan direndahkan oleh
bangsa”?
Atau adakah suatu alasan
yang lebih besar dan lebih mengerikan bagi rendahnya penghargaan akan diri-Nya?
Ia tidak berseru, ”TuhanKu, Tuhan-Ku, mengapakah orang-orang telah meninggalkan
Aku?” Namun, Ia sungguh-sungguh ingin mengetahui mengapa Tuhan telah
meninggalkan-Nya! Jawabannya dapat ditemukan dalam kebenaran yang pahit itu
sendiri. Tuhan telah menjadikan dosa dan kesalahan kita semua agar ditimpakan
ke atas-Nya, dan seperti seekor cacing, Ia ditinggalkan dan diremukkan karena
kejahatan kita.
Gambaran yang gelap
tentang kematian Sang Mesias ini bukanlah satu-satunya dalam Kitab Suci. Masih
ada hal-hal lain yang membawa kita, bahkan jauh ke dalam jantung Salib dan yang
terbuka bagi kita dengan yang dimaksud “Ia harus menderita” agar Ia dapat
memenangkan penebusan umat-Nya. Kalau kita memusatkan perhatian kepada kata-kata
Mazmur, kita akan lebih dikejutkan lagi saat mendengar pernyataan “kudus” tiga
kali bagi Putra Tuhan.
Ia sebagai ular tembaga
yang ditinggikan di padang belantara kemudian dijadikan sebagai kambing hitam
untuk menanggung dosa tersebut dan ditinggalkan mati sendirian.
Gambaran yang pertama
ditemukan dalam Kitab Bilangan Pemberontakan
bangsa Israel yang dilakukan secara terus-menerus untuk melawan Tuhan dan
penolakan mereka terhadap pertolongan-Nya yang luar biasa. Oleh sebab itu,
Tuhan mendatangkan “ular-ular tedung” di kalangan umat Israel.
Banyak orang Israel yang
mati karena ular-ular tersebut. Namun, karena mereka
mau bertobat dan karena perantaraan Musa, sekali lagi Tuhan memberikan
pertolongan bagi keselamatan mereka. Ia memerintahkan Musa untuk “membuat
seekor ular tembaga dan menempatkannya pada sebuah tiang.” Kemudian Ia
memberikan janji bahwa “setiap orang yang dipagut ular tetapi melihat ular
tembaga di tiang itu maka dia akan hidup.”
Pada awalnya, peristiwa
ular tedung ini tampak bertentangan dengan alasan bahwa kesembuhan diberikan
karena ada yang terluka. Namun, sebenarnya peristiwa ini memberikan suatu
gambaran yang kuat tentang Salib. Orang-orang Israel mati karena racun
ular-ular tedung. Manusia mati karena racun dari dosa mereka sendiri.
Musa diperintahkan untuk
menempatkan penyebab kematian tersebut di atas sebuah tiang. Tuhan menempatkan
penyebab kematian kita di atas Putra-Nya sendiri ketika Ia tergantung di atas
Salib. Ia telah datang, “serupa dengan daging yang dikuasai dosa”, dan “telah dibuat-Nya menjadi dosa karena
kita.”
Umat Israel yang percaya
kepada Tuhan dan memandang kepada ular tembaga itu akan hidup. Orang yang
percaya kepada kesaksian Tuhan tentang Putra-Nya dan memandang Dia dengan iman
akan diselamatkan. Seperti yang telah tertulis, “Berpalinglah kepada-Ku dan
kamu akan diselamatkan, hai seluruh ujung bumi, karena Akulah Tuhan dan tidak
ada yang lain.
Gambaran yang kedua
terdapat di dalam kitab Imamat. Seekor persembahan tunggal tidak mungkin dapat
menggambarkan kematian Sang Mesias untuk penebusan sepenuhnya. Maka,
persembahan yang terdiri dari dua ekor kambing jantan ditempatkan di hadapan
Tuhan. Kambing yang pertama disembelih sebagai korban penghapusan dosa di
hadapan Tuhan.
Di dalam tabir ruang
maha kudus, darahnya dipercikkan pada tutup perdamaian dan di bagian depan
tutup perdamaian itu. Gambaran
persembahan ini menunjukkan pengorbanan Yesus Kristus yang mencurahkan
darah-Nya di atas Salib untuk menebus umat-Nya yang berdosa.
Kambing yang kedua yang
dipersembahkan di hadapan Tuhan adalah sebagai seekor kambing hitam. Di atas
kepala kambing ini, Imam Besar meletakkan, ”kedua tangannya di atas kepala
kambing yang hidup itu dan mengakui di atasnya segala kesalahan bani Israel dan
semua pelanggaran mereka dalam segala dosa mereka.”
Kemudian, kambing hitam
itu dilepaskan di padang belantara sendirian menanggung semua kejahatan
orang-orang tersebut di tempat yang terpencil. Di sana ia akan berjalan
mengembara sendirian, ditinggalkan oleh Tuhan dan terpisah dari umatNya.
Gambaran ini menunjukkan karya Yesus Kristus yang “sudah menanggung dosa-dosa
kita di dalam tubuh-Nya di atas kayu salib.”
Ia “telah menderita di
luar pintu gerbang.” Apa yang hanya bersifat simbolis dalam Hukum Taurat
menjadi sebuah kenyataan yang menyakitkan bagi Sang Mesias. Tidakkah ini
mengherankan jika seekor cacing, seekor ular berbisa, dan dua ekor kambing
dipakai sebagai lambang-lambang Yesus Kristus? Menyamakan Putra Tuhan dengan
hal-hal yang “menjijikkan” seperti itu pastilah akan menjadi sebuah cercaan
jika seandainya nubuatan tersebut tidak berasal dari orang-orang kudus di
Perjanjian Lama.
Mereka “digerakkan oleh
Roh Kudus” yang kemudian diteguhkan oleh para penulis Perjanjian Baru yang
bahkan melanjutkan dengan gambaran-gambaran gelap mereka. Berdasarkan
pengilhaman dari Roh yang sama, mereka cukup berani mengatakan bahwa Ia yang
tidak mengenal dosa, “telah dibuat-Nya menjadi dosa.“ Dan Ia yang dikasihi oleh
Bapa-Nya, ”telah menjadi kutuk demi kita” di hadapan Dia. Kita telah mendengar
kebenaran-kebenaran ini sebelumnya, namun sudahkah kita benar-benar memikirkan
kebenarankebenaran tersebut dihancurkan?
Di atas Salib, Dia yang
dinyatakan “kudus, kudus, kudus” oleh para Serafim telah “dijadikan-Nya dosa.”
Usaha untuk memahami makna dari frase ini tampaknya berbahaya. Apa artinya
bahwa Dia yang di dalam-Nya “berdiam seluruh kepenuhan Ilahi secara lahiriah”, “dijadikan dosa”? Kita perlu
berhati-hati untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak benar dan jahat
melawan sifat-Nya yang tidak bercela, suci, dan kekal. Menurut nas-nas
tersebut, Yesus Kristus “dijadikan dosa” dengan cara yang sama orang yang
percaya dijadikan ”kebenaran Tuhan di dalam Dia.” Rasul Paulus menulis:
Dia yang tidak mengenal dosa, telah dijadikan-Nya dosa ganti kita, supaya kita ini akan menjadi kebenaran Tuhan di dalam Dia. (2Kor. 5:21)
Orang yang percaya tidak
dapat menjadi “kebenaran Tuhan”, atau orang benar di hadapan Tuhan, karena
perbuatannya yang sempurna dan suci, atau berdasarkan sifatnya yang
menjadikannya mirip dengan Tuhan dan tanpa dosa. Melainkan, orang percaya
dibenarkan di hadapan Tuhan hanya karena kebenaran Tuhan saja. Kebenaran Yesus
Kristus-lah yang mempertalikan kebenaran-Nya dengan orang percaya tersebut.
Sebagai akibat, mereka
diperhitungkan benar di hadapan Tuhan melalui karya Yesus Kristus itu. Dengan
cara yang sama, Yesus Kristus tidak dijadikan seorang berdosa oleh karena
sifat-Nya yang berdosa, jahat, dan akhlak-Nya buruk. Melainkan, dengan
mengganti orang percaya, segala kebobrokan dan kebejatan orang percaya bersama
dengan segala dosa-dosa yang mereka buat dipertalikan dengan-Nya.
Sebagai akibat Ia
dianggap bersalah dan berdosa di hadapan takhta pengadilan Tuhan oleh sebab
dosa orang percaya. Walaupun kesalahan ini adalah suatu kesalahan yang
diambil-alih sebagai seorang pengganti, namun kesalahan itu benar-benar adalah
kesalahan yang sesungguhnya, yang menyebabkan suatu kepedihan yang tiada
terkirakan dan tak terkatakan bagi jiwa-Nya. Ia mengambil kesalahan kita sebagai milik-Nya sendiri,
berdiri di tempat kita, dan ditinggalkan oleh Tuhan.
Kebenaran ini bahwa
Yesus Kristus “dijadikan dosa” adalah suatu kebenaran yang selain menyesakkan,
juga tak terpahami. Mungkin kita berpikir bahwa tidak ada lagi kata-kata yang
lebih kelam yang dapat menggambarkan apa yang benar-benar terjadi pada-Nya.
Namun, Rasul Paulus menyalakan sebuah lampu dan membawa kita turun jauh ke
dalam jurang penghinaan yang begitu dalam yang Yesus Kristus alami dan
kesendirian-Nya.
Kita masuk ke dalam
lorong terdalam untuk menemukan Putra Tuhan yang tergantung di kayu Salib dan
menanggung suatu gelar yang sangat tidak dikenal-Nya, yaitu Yang Terkutuk oleh
Tuhan! Nas-nas Kitab Suci menyatakan bahwa semua makhluk manusia berada di
bawah kutukan. Sebagaimana tertulis, ”Terkutuklah orang yang tidak menaati
perkataan Hukum Taurat ini dengan melakukannya.” Dari
sudut pandang surga, mereka yang melanggar hukum Tuhan adalah kotor dan
menjijikkan.
Mereka adalah sekumpulan
orang yang celaka. Mereka sebetulnya pantas untuk mendapatkan pembalasan Ilahi,
juga benar-benar pantas mendapatkan kehancuran secara kekal. Pernyataan ini bukanlah
sesuatu yang dibesar-besarkan: Pada akhirnya, pada saat seorang berdosa yang
terkutuk baru masuk pintu ke neraka, ia hanya akan mendengar semua ciptaan
Tuhan memuliakan Dia karena Ia telah membersihkan dunia dari orang berdosa
seperti dia.
Inilah keadaan yang
menjijikkan bagi mereka yang melanggar hukum Tuhan dan penghinaan dari yang
kudus kepada yang tidak kudus. Namun Injil mengajarkan kepada kita bahwa,
”Kristus sudah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan telah menjadi suatu
kutuk karena kita, sebab telah tertulis, “Terkutuklah setiap orang yang
tergantung pada kayu Salib.”
Yesus Kristus
menggantikan kita supaya Ia dapat menebus kita dari apa yang selayaknya kita
terima. Ia menjadi sebagai “seekor cacing dan bukan lagi manusia.” Ia menjadi ular
yang ditempatkan di ketinggian pada sebuah tiang di padang belantara. Ia
menjadi sebagai seekor kambing hitam yang diusir di luar tenda, penanggung
dosa. Akhirnya, Ia menjadi Seseorang yang atas-Nya murka Tuhan dijatuhkan.
Untuk alasan inilah Bapa
menjauhkan diri-Nya sendiri dari Dia, dan seluruh surga menyembunyikan
wajahnya.
Ini menjadi suatu hinaan
yang besar manakala makna sejati “seruan Kristus dari Salib” telah hilang dalam
pikiran dan cerita romantis. Misalnya, seorang pengkhotbah menyatakan bahwa
sang Bapa memalingkan muka dari Putra-Nya karena Dia tidak kuat lagi
menyaksikan penderitaan yang ditimpakan kepada Putra-Nya oleh tangan
orang-orang yang jahat.
Penafsiran yang seperti
ini sama sekali terlepas dari teks dan dari apa yang sebenarnya terjadi di atas
salib. Bapa tidak berpaling dari Putra-Nya karena Ia tidak kuat lagi
menyaksikan penderitaan-Nya, melainkan karena “Dia yang tidak mengenal dosa,
telah dijadikan-Nya dosa ganti kita, supaya kita ini akan menjadi kebenaran
Tuhan di dalam Dia.” Ia meletakkan dosa-dosa kita di atas-Nya dan berpaling,
karena “Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan tidak dapat memandang
kelaliman.”
Ini bukan tanpa alasan
jika ada banyak brosur tentang Injil yang menggambarkan suatu lorong tanpa batas
antara Tuhan yang Mahakudus dengan mereka yang berdosa. Kitab Suci pun
menyatakan tentang keadaan ini sebagaimana Nabi Yesaya berkata:
“Lihatlah! Tangan TUHAN tidaklah kurang panjang untuk menyelamatkan, atau pun telinga-Nya tidaklah terlalu berat untuk mendengar, tetapi kejahatanmu itulah yang memisahkan kamu dari Tuhanmu, dan karena dosa-dosamu, Dia telah menyembunyikan wajah-Nya darimu sehingga Ia tidak mendengar.” (Yes. 59:1-2)
Oleh karena itulah, maka
semua orang yang hidup dan mati terpisah dari kehadiran Tuhan dan mereka semua
berada di bawah murka Tuhan - kecuali Sang Putra Tuhan menggantikan mereka
dengan menanggung dosa mereka, dan mati “ditinggalkan oleh Tuhan” demi mereka.
Karena pelanggaran terhadap hukum telah ditutup dan persekutuan dipulihkan maka
“bukankah Mesias harus menderita semuanya itu supaya juga masuk ke dalam
kemuliaan-Nya?
Disadur dari; http://www.sastra-hidup.net/injil-keselamatan-surga/send/8-injil-keselamatan-surga/73-uniknya-makna-salib-yesus-kristus-paul-washer/
Posting Komentar untuk "Saat Teduh - Renungan Harian Kristen; Markus 15:34 "Yesus Ditinggalkan Oleh Tuhan" - Oleh Paul Washer"